Dari Pemberontak Menjadi Pejabat
Namun, terutama kedua, kesamaan ide dalam banyak hal baik terhadap situasi universitas seperti pendidikannya,
Mengenang Kawan Gaspar Parang Ehok
Oleh Daniel Dhakidae
Kepala LITBANG Kompas 1995-2005; Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi Jurnal Prisma, Jakarta.
POS KUPANG.COM - Perkenalan dan perkawanan kami semasa menjadi mahasiswa SOSPOL Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, tahun 1970-an, berjalan begitu saja secara wajar dan alasannya juga wajar-wajar saja. Pertama, tentu saja sebagai sesama mahasiswa Flores.
Namun, terutama kedua, kesamaan ide dalam banyak hal baik terhadap situasi universitas seperti pendidikannya, kurikulumnya, dan yang paling mengikat kami semua adalah kesamaan pandangan mengenai Orde Baru Soeharto, dan militer.
Ketiga, karena dua alasan di atas kami juga sama dalam pandangan mengenai organisasi kemahasiswaan dengan identitas yang menjadi dasar, dalam hal ini apa yang harus dibuat oleh organisasi seperti PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia).
Dengan beberapa alasan seperti dikemukakan di atas itulah persahabatan yang wajar itu akhirnya menjadi ideologis, menyangkut suatu cita-cita besar, dalam arti kami bersama sejumlah teman yang akan dikisahkan di bawah ini menjadi comrades in arms, teman seperjuangan, dalam arti sesungguh-sungguhnya.
Gaspar dan Dunia Mahasiswa
Pengalaman penulis yang pahit di Ledalero menyebabkannya menarik diri ke dalam, dalam arti memutuskan hubungan dengan kegiatan di luar dunia kampus yang artinya menjadi mahasiswa yang "manis"--terima apa saja yang disuguhkan oleh dosen dengan diktat-diktat kuliahnya, menghapal, diuji, lulus, dan senang.
Namun, semuanya berubah total ketika mahasiswa ITB, Rene Coenrad, ditembak mati oleh tentara 1970, karena mahasiswa AKABRI kalah bermain bola. Pemberontakan mahasiswa menyala di semua kampus, termasuk kampus UGM. Penulis pun terjun ke dunia itu dan sejak itu berhenti menjadi mahasiswa yang duduk manis di ruang-ruang kuliah.
Inilah yang menyatukan kami semua, termasuk Gaspar, dalam suatu kelompok yang disebut waktu itu sebagai "kelompok independen"---dalam arti khusus yaitu tidak menjadi aktivis organisasi seperti HMI, PMII, GMNI, GMKI, PMKRI, dan lain sebagainya. Alasan sebetulnya sederhana yaitu bagaimana menjadi aktivis yang disegani; namun, tidak mengorbankan dunia akademi. Pengamatan sekeliling menunjukkan bahwa banyak aktivis organisasi yang menjadi tua sebagai mahasiswa, lama sekali menyelesaikan studinya sehingga diberi gelar MA, Mahasiswa Abadi, bukan Master of Arts.
Bagaimana memungkinkan itu? Kami membentuk kelompok diskusi yang kami namakan "Kelompok Tiga Belas", karena terdiri dari tiga belas orang dan didirikan pada tanggal 13 Mei 1972. Sebagai mahasiswa tidak mampu kami memiliki kantor. Untuk itu paviliun kontrakan Gaspar dan Peter Hagul, yang agak besar di wilayah Kolombo, dijadikan kantor dan sekaligus menjadi ruang kuliah.
Tugas penulis ini adalah mengamati apakah ada para peneliti untuk disertasi doktor atau master atau profesor yang sedang meneliti di Yogya. Kalau ada penulis ini akan mendatangi mereka dan meminta berbicara dan berdiskusi dalam kelompok kami.
Sampai kami semua tamat kira-kira 15 peneliti doktor dan master yang berbicara di kelompok kami yang terdiri dari mereka yang kelak menjadi doktor-doktor terpandang dalam ilmunya masing. Nama-nama yang bisa disebut di sini adalah Dr. Peter McCawley, yang kelak menjadi deputi Perdana Menteri Australia, dari partai buruh; Dr. Chris Manning, dua-duanya ekonom; Profesor Niels Mulder, antropolog Belanda, yang melakukan studi banding antara kebudayaan Thailand dan Jawa; Marcell Bonnef dari Universitas Sorbonne, Perancis, yang melakukan studi tentang komik di Indonesia; dari Indonesia Yuwono Sudarsono yang baru saja menyelesaikan studi Master di Berkeley, California, Amerika Serikat.
Dengan demikian ketidakpuasan kami dengan kampus formal dipenuhi oleh studi sendiri di dalam kelompok studi seperti itu. Gaspar memainkan peran penting di sana. Mendengar para doktor, master, dan professor berbicara tentang tesisnya dengan sendirinya merangsang ambisi kami masing-masing juga untuk meraih gelar tertinggi di dunia akademia itu.
Nama-nama yang bisa disebut adalah Dr. Peter Hagul, Amerika Serikat; Dr. Mochtar Pabottingi, Amerika Serikat; Dr. Parakitri T. Simbolon, Belanda; Dr. Hotman Siahaan, Airlangga; dan Gaspar yang menggondol gelar master dalam administrasi publik dari Jerman, dan saya sendiri dari Universitas Cornell, Amerika Serikat.
Ketika pulang dari Jerman saya bercanda kepada Gaspar: "Gas, dari semua gelar teman-teman gelarmu itu yang paling menakutkan, Magister Rerum Publicarum", MA administrasi negara, dari Hochschule für Verwaltungswissenschaften di Speyer, Jerman, karena panjang ...dan dia hanya tertawa terbahak-bahak dengan gaya khasnya yang memecah keheningan.