Membangun Komunikasi Politik Beretika Menjelang Pilkada di NTT
Berbagai pilihan bahasa dengan jargon-jargon, eufemisme, metafora, puffery (bombastis), dan labeling
Oleh Petrus Ana Andung
Dosen Fisip Undana, Sedang Studi Doktor (S3) Ilmu Komunikasi di Universitas Padjadjaran, Bandung
POS KUPANG.COM - Tak lama lagi, perhelatan pesta demokrasi untuk memilih kepala daerah di 9 kabupaten se- Provinsi Nusa Tenggara Timur bakal digelar serentak pada 9 Desember 2015. Kini, masyarakat di 9 kabupaten sudah disuguhi berbagai macam pesan politik mulai dari visi-misi hingga program unggulan dari 23 paket calon bupati dan wakil bupati yang hendak bertarung. Bahkan tidak jarang, pesan-pesan politik dikemas sedemikian rupa agar enak di telinga khalayak.
Berbagai pilihan bahasa dengan jargon-jargon, eufemisme, metafora, puffery (bombastis), dan labeling (penjulukan) diramu sedemikian rupa agar bisa membentuk kesadaran khalayak sesuai dengan yang dikehendaki oleh sang komunikator politik (Mulyana, 2014). Namun, yang menyedihkan adalah demi mendapat simpati massa, kemasan pesan komunikasi politik seringkali tendensius dan menyerang lawan politik sehingga berujung ricuh. Kawan bisa berubah jadi lawan hanya karena pilihan politik berbeda.
Tulisan ini ingin mendiskusikan pentingnya membangun komunikasi politik yang beretika. Bahwa 'pertarungan' untuk mendapat dukungan politik itu hal wajar, asalkan dalam koridor iklim politik yang kondusif dan mendidik.
Premanisme Politik sebagai Ketidakdewasaan Berpolitik
Di negeri ini, saat atau menjelang Pemilu (mulai dari Pileg, Pilpres, Pilkada, bahkan hingga Pemilihan Kepala Desa), komunikator politik selalu heboh dengan mengobral kata-kata. Ya, lebih tepatnya, bermain kata-kata (language game). Semua calon berupaya terlihat sempurna di mata rakyat. Dalam teori dramaturgi Erving Goffman, panggung depan (front stage) kandidat dikemas sedemikian rupa untuk menyihir khalayaknya guna mendapatkan kesan positif atau dalam bahasa Goffman disebut sebagai impression management (manajemen kesan).
Padahal, apa yang dipertontonkan di depan panggung itu hanya sekadar drama belaka guna pencitraan politik (political imaging).
Semua moment akan dimanfaatkan semaksimal mungkin. Setiap tim sukses dari tiap paket calon juga bekerja ekstra menarik hati masyarakat. Terjadilah pertarungan janji-janji membual yang terkadang jauh dari nalar kita. Bualan politik ini seolah dianggap hal yang wajar dalam konteks berpolitik. Tidak salah memang. Graber (1981) juga menyadari kalau sebagian besar aktivitas politik itu merupakan permainan kata-kata.
Namun karena terlena dengan motivasi mendapatkan dukungan politik sebanyak-banyaknya, kadangkala pilihan kata yang bertendensi mencari-cari kekurangan lawan politik seolah menjadi senjata pamungkas. Ujung-ujungnya, kontestasi politik yang seharusnya menjadi sarana mengedukasi masyarakat berubah haluan menjadi ajang pertunjukan kekerasan dan premanisme politik. Penggunaan kata-kata sindiran bahkan berbau SARA seringkali menjadi tontonan kurang bijak termasuk melalui media sosial. Tidak hanya berhenti pada kekerasan psikis dan kekerasan simbolik saja. Berbagai kekerasan fisik antarmassa pendukung juga seringkali mewarnai setiap perhelatan pesta demokrasi di tanah air tercinta.
Munculnya kekerasan dan premanisme politik ini sesungguhnya dapat dibaca sebagai bentuk dari ketidakdewasaan berpolitik. Karena itu, Mulyana (2014) mengklaim kalau praktek politik di Indonesia ini adalah yang paling aneh, paling absurd (tidak masuk akal), paling unik dan sekaligus paling sulit diramalkan.
Membangun Komunikasi Politik yang Beretika
Membicarakan etika, maka pikiran kita akan tertuju pada akhlak, moral, nilai-nilai yang bisa membedakan apa yang baik dan apa yang buruk dalam masyarakat. Etika dalam masyarakat juga berguna sebagai penuntun bagaimana seharusnya kita menjalankan kehidupan ini.
Hemat saya, membangun komunikasi politik yang beretika merupakan satu-satunya solusi mengembalikan budaya politik ideal (budaya politik partisipan sebagaimana diperkenalkan Almond & Verba) di negara kita. Caranya bagaimana?
Pertama, bangun komunikasi politik yang mindful. Seorang komunikator politik yang dewasa bisa dilihat melalui perilaku dan tutur katanya. Tidak harus menghabiskan seluruh energi untuk melakukan pengelolaan panggung depan yang berlebihan untuk menaikkan pamor, jati diri, dan bahkan citra politiknya. Bersahaja, tidak pura-pura, rendah hati, tulus, dan santun dalam menyampaikan pesan politik, justru itu yang disukai rakyat.
Kalau selama ini ia dekat dengan rakyat, menunjukkan karakter jujur, dan berpihak pada rakyat kecil, maka dukungan politik dengan sendirinya akan diraih. Konsep Ellen Langer tentang mindfulness rasanya juga relevan untuk komunikasi politik yang beretika.
Karakteristik berkomunikasi yang mindful mengandung makna bahwa seorang komunikator politik perlu mengedepankan apresiasi, tidak apriori terhadap lawan politik, tidak hanya mencari keuntungan diri sendiri, perhatian pada situasi dan konteks komunikasi politiknya, dan open minded sehingga tidak terjebak dalam perangkap politik identitas dan transaksional.
Kedua, pencerahan politik. Ujung tombak kemenangan kandidat adalah tim sukses. Merekalah yang bekerja di belakang layar untuk menyukseskan paket calonnya guna mendulang suara.
Selain tim sukses, keberadaan simpatisan juga ikut mewarnai semaraknya aktivitas politik. Nah, simpatisan dan atau massa pendukung ini biasanya cenderung fanatik. Ini akan memicu kericuhan Pilkada. Karena itu, untuk membangun komunikasi politik yang beretika, maka setiap paket calon bupati dan wakil bupati harus bertanggung jawab memberi pencerahan politik tentang pentingnya komunikasi politik yang damai dan simpatik bagi tim sukses dan massa pendukungnya.
