Gawat, Imbuhan in Merajalela!
Pemuda kedua berlangsung di Jakarta dan pada saat itulah dideklarasikan Sumpah
(Catatan Bulan Bahasa Nasional)
Oleh Willem B Berybe
Mantan guru, peminat Bahasa
POS KUPANG.COM - Bulan Oktober sebagai Bulan Bahasa Nasional tak lepas dari aspek sejarah bangsa. Hampir seabad lalu (28 Oktober 1928) Kongres Pemuda kedua berlangsung di Jakarta dan pada saat itulah dideklarasikan Sumpah Pemuda yang naskahnya sebagai berikut: Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia; Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia; Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia (BI) dimaksud dalam ikrar itu adalah Bahasa Melayu yang sudah lama dipakai sebagai bahasa pergaulan 'lingua franca' antar berbagai suku di seluruh kepulauan nusantara.
Para pemuda Indonesia yang diwakili oleh organisasi Yong Java, Yong Sumatra, Yong Ambon, Yong Selebes, dll. sepakat, melalui kongres tersebut, menerima BI sebagai bahasa persatuan nasional. Bahasa Indonesia dipakai sebagai alat pemersatu bangsa melawan kolonial Belanda. Hal ini dipertegas lagi oleh Muhhamad Yamin, sekretaris panitia kongres, bahwa ada lima faktor yang bisa memperkuat persatuan Indonesia yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan (Sumber: Wikipedia Bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas).
Sekalipun berbagai suku di Indonesi memiliki aneka ragam bahasa etnis (Melayu, Jawa, Sunda, Batak, Bugis, Ambon, Bali, Timor, Manggarai. dll.) komitmen untuk menjunjung tinggi Bahasa Indonesia menjadi harga mati.
Pertumbuhan dan perkembangan BI dalam kurun waktu hampir satu abad ini memperlihatkan fleksibilitas tanpa batas. Betul, para linguis mengatakan variasi dalam bahasa linguistic variation merupakan fitur yang mencirikan bahasa itu sendiri (Gleason). Ini terjadi pada sebuah bahasa yang tergolong bahasa hidup living language dari era arkaik sampai moderen. Variasi berbahasa sebagai akibat serumpun dan sekedekatan konteks sosial para penuturnya (suku, asal muasal, daerah tempat tinggal) sering melahirkan bahasa yang bersifat dialektal dan sulit dihindari. Kata ayah dan ibu berubah menjadi bokap dan nyokap demikian tenar dalam bahasa pergaulan anak muda Jakarta (Jawa). Tidak jelas siapa yang mempopulerkannya.
Kata berpasangan ini mulai sering digunakan awal tahun 2000-an sebagai efek dari penggunaan bahasa sms (short message service) yang populer di kalangan remaja ( Dikutip dari:
www.facebook.com/notes/tahukah-anda-/40-arti-bahasa-gaul). Bayangkan kalau jumlah penuturnya sekian juta orang. Berbeda dengan bahasa mati dead language seperti Bahasa Latin. Tidak mengalami perubahan hingga kapanpun. Sekali pater ( bapa) tetap pater selamanya.
Salah satu contoh perubahan BI sekarang ini yang kian menggila yaitu penggunaan imbuhan-in entah dalam bahasa tutur entah dalam bahasa tulis. Dengan enteng dan gampang saja akhiran in itu digunakan pada kata-kata BI baku. Fenomena bahasa ini tampaknya semakin merajalela dan tak terkendali. Almatsier, seorang mantan pengajar bahasa yang tinggal di Jakarta, merasa sangat resah dengan gejala bahasa seperti ini sehingga dia menulis surat untuk Redaksi Kompas bahwa Bahasa Nasional kita didominasi oleh dialek Jakarta (Betawi).
Dia beri contoh penggunaan kata lu dan gue serta pemakaian akhiran in seperti "memasukin", "ceritain" yang banyak terlihat di sinetron dan cerita yang ditayangkan lewat layar kaca ( Kompas 12 Juni 1996). Samuel Mulia, parodis, mengutip sebuah pertanyaan dari salah satu media sosial (stasiun radio) dalam rangka hari guru sedunia untuk tulisan parodinya di Harian Kompas edisi 11 Oktober 2015 " Guru apa yang paling gak bisa dilupain? Kenapa? Lain lagi mantan model era 80-an Keke Soeryo berceloteh "Enggak sering juga. Tapi kalau weekend selalu nyempetin.." atau Ratna Listy, artis penyanyi asal Madiun, Jawa Timur, berkata " Aku lagi ngumpul-ngumpulin kalimat-kalimat motivasi yang pernah aku tulis, sambil nyari-nyari ide baru yang lain" .
Bahkan fotografer kelas dunia kelahiran Jakarta, Don Hasman sebagaimana dikutip Harian Kompas (11/10/2015) " Ah, itu kerjaan wartawan Perancis masukin nama saya. Terus masuk ke internet, nah jadi kemana-mana deh" dan " Saya cuma sekali pergi ke luar negeri, dibayarin , itu ketika .". Gawat!
Kompas edisi Minggu 20 September 2015 menampilkan sebuah tulisan berbentuk cerita di rubrik Anak (hal. 23). Judul tulisan ' Bintang Anak Rajin', karya Rizki Nur Amalia (Penulis Cerita Anak) yang tinggal di Bekasi, Jawa Barat. Dikisahkan bagaimana Silvi membujuk Bunda (sang ibu) membelikan sepeda baru. Sepeda lama hilang gara-gra diletakkan di sembarang tempat. Keinginan Silvi dapat dipenuhi Bunda dengan cara dia harus menempelkan lima puluh stiker bintang. Setiap kali Silvi bantu Bunda dia diberikan stiker untuk ditempel pada buku yang telah disiapkan Bunda.
Waktu membaca tulisan (cerita) Rizki ini saya temukan delapan kali kata berimbuhan -in. " Bunda, beliin Silvi sepeda baru" (kalimat pembuka paragraph 1). Masih di paragraph yang sama " Nggak, lagian sepeda yang dulu diilangin. ".Silvi janji bakal jaga barang dengan baik. Beliin ya, Bunda" (paragraph 2). " Kalau dibeliin sepeda, Silvi janji bakal bantuin Bunda. Menyapu, mengepel, dan cuci piring " (paragraph 3). Lalu di kolom kedua (paragraph kedua dari bawah): " Baru ada lima bintang. Masih harus kumpulin 45 bintang lagi. Masih banyak .". Di bagian akhir cerita (kolom ketiga): " Silvi masih bantuin Bunda? Kan kamu sudah dapat 50 bintang". Lalu Silvi menjawab "Awalnya memang Silvi bantu Bunda biar dibeliin sepeda baru. Tapi, sekarang Silvi jadi terbiasa bantu Bunda".
Untuk pembaca dengan konteks Jawa, cerita Rizki benar-benar kena sasaran dengan efek emosionalnya. Sudah terbiasa menggunakan dialek bahasa berakhiran in (ngapain, buatin, belain dst.nya) kemudian terbuai lagi oleh tayangan-tayangan televisi atau siaran radio serta media cetak yang bergelimang dialek Jakarta demi merebut daya tarik pemirsa, pendengar, pembaca, penulis. Unsur respek dalam bahasa tidak hanya dari sisi bahasa itu sendiri tetapi juga dari sisi penikmat bahasa (pendengar, pembaca, penulis) yang bersifat resiprokal (saling berdampak positif dan holistik). Apakah mereka mengapresiasi bahasa yang sedang dipakai, maksudnya menurut mereka tepat (formal) dan baik. Slogan yang pernah didengung-dengungkan ' Gunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar' dianggap angin lalu.
Andaikan cerita Rizki dibaca oleh anak-anak di Papua, Kalimantan, NTT, Maluku atau daerah-daerah lain di luar pulau Jawa mereka merasa asing dan tidak akrab dengan gaya penyajian. Mereka tidak kenal akhiran in dalam BI. Di sekolah mereka belajar akhiran -an, -i, -kan yang dalam pemakaiannya boleh dengan atau tanpa awalan (prefix) seperti mainan/permainan, lukai/melukai, belikan/dibelikan.