Objek Wisata Kuda Sandelwood

Jatuh Hati Pada Kuda Cross

Menurunnya populasi kuda Sandel yang selalu mengemuka, yaitu meluasnya penyakit antrax dan sura, pengantarpulaan kuda yang tifak terkontrol

istimewa
Pacuan Kuda di Sumba 

POS-KUPANG.COM, WAINGAPU --- Ada beberapa faktor penyebab menurunnya populasi kuda Sandel yang selalu mengemuka, yaitu meluasnya penyakit antrax dan sura, pengantarpulaan kuda yang tidak terkontrol, maraknya pencurian serta beralihnya peternak memelihara sapi ongol.

Faktor lain yang juga tidak bisa dipungkiri pengaruhnya, yaitu terjadinya kawin silang pasca masuknya kuda-kuda lain dari luar Pulau Sumba. Pada awalnya abad ke-19, sudah terjadi kawin silang kuda Australia dengan betina Sandel. Namun jumlahnya masih sangat terbatas.

Sekitar tahun 1990-an, secara perorangan, beberapa pengusaha keturunan Tionghoa membawa kuda jantan dari Pulau Jawa, untuk dijadikan kuda pacu.

Pada masa itu terjadi juga kawin silang dengan kuda betina Sandel, tapi tetap terbatas. Karena biaya kawin kuda mahal dan pemilik kuda jantan selektif terhadap kuda betina yang mau dikawinkan.

Dalam perjalanan, pemerintah daerah membuat kebijakan memasukan kuda thoroughbred dari Australia. Tujuannya untuk perbaikan kualitas, termasuk kecepatan serta meningkatkan daya tahan tubuh kuda Sandel yang pada saat itu kualitas serta populasinya menurun.

Sewaktu Sumba Timur dipimpin pasangan Umbu Mehang Kunda dan Gidion Mbilijora, dibuatlah breeding center (fasilitas pembibitan) kuda thoroughbred di Matawai Maringu.
Sejak saat itu semakin banyak kuda dari luar dibawa masuk ke Sumba Timur.

Kalau dulu hanya pengusaha keturunan Tionghoa dan pemerintah, sekarang siapapun bisa membawa masuk kuda asal punya uang. Beberapa jenis kuda yang dibawa masuk di antaranya kuda Jawa, kuda Bali, kuda Sumbawa, Ujung Pandang dan kuda Manado. Bahkan ada pengusaha mendatangkan dari luar negeri.

'Kuda-kuda pendatang' kemudian dikawinkan dengan betina Sandel. Mulanya hanya beberapa orang yang berminat. Namun lambat laun, apalagi setelah mengetahui hasil dari kawin silang bagus, masyarakat ramai--ramai mengawinkan kudanya dengan kuda-kuda pendatang.

Karena kualitas, termasuk kecepatannya bagus sehingga kuda cross dijadikan masyarakat Sumba Timur sebagai kuda pacu.

Tidak heran kalau event lomba pacuan kuda atau palapang njara yang dilaksanakan di lapangan Rihi Eti Prailiu, Waingapu setiap bulan Juni, Agustus dan Oktober dianggap sebagai ajang unjuk kebolehan kuda-kuda cross.

Kalau beberapa tahun sebelumnya, dalam lomba pacuan kuda hanya 4 kelas (ABCD) yang diperlombakan, didominasi kuda Sandel. Kini bertambah menjadi 15 kelas, yaitu A, B, C, D, A1, A2, A Super, Pemula (P) Mini, P1, P2, P3 dan P Super. Ada juga kelas E1, E2 dan E Super. Pembagian kelas berdasarkan tinggi punggung kuda.

"Dari lima belas kelas ini, yang diikuti kuda sandel kelas pemula mini, D dan kelas D mini karena postur sandel rendah. Kalau pun ada itu untung-untung. Pada tiga kelas ini masih lebih banyak kuda cross," kata Kalendi Manangahau.

Kelas selebihnya didominasi kuda cross. Artinya, penambahan kelas untuk mengakomodir kuda-kuda cross yang memiliki postur tinggi.

Masyarakat semakin jatuh hati pada kuda cross karena selalu menjuarai lomba pacuan. Dampak selanjutnya, harga kuda cross pun melambung, berkisar puluhan hingga ratusan juta rupiah.

"Masuknya kuda dari luar tujuan utamanya perbaikan kualitas untuk kuda pacuan. Ternyata dampaknya menurunkan populasi kuda Sandel juga. Ini menjadi salah satu penyebab populasi untuk kuda pacuan asli Sandel jadi minim," kritik Umbu Angga, aktivis LSM.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved