Penembakan Warga NTT di Sleman

11 Oknum Anggota Kopassus Tersangka

Dalam 17 hari, kasus pe- nyerbuan ke Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Cebongan, Sleman, DI Yogyakarta, akhirnya terungkap.

Editor: Alfred Dama
zoom-inlihat foto 11 Oknum Anggota Kopassus Tersangka
Net
Ilustrasi

"Para pelaku langsung mengakui tindakan mereka pada hari pertama tim investigasi bertemu mereka," kata Ketua Tim Investigasi TNI AD Brigadir Jenderal Unggul Yudhoyono, Kamis (4/4), dalam konferensi pers bersama Kepala Dinas Penerangan TNI AD Brigjen Rukman Ahmad dan Asisten Intelijen Komandan Jenderal Kopassus Letkol (Inf) Richard Tampubolon. Menurut Unggul, pengakuan para pelaku itu yang membuat tim investigasi dapat bekerja cepat. Ada 11 tersangka, tetapi dua anggota berusaha mencegah.

Unggul menjelaskan, motif para pelaku adalah setia kawan kepada almarhum Sersan Kepala Santoso yang tewas diserang beramai-ramai di Hugo's Cafe. Penyiksaan sadis yang dialami Santoso membuat teman-temannya di Kopassus marah.

Pengungkapan kasus tersebut, ujar Rukman Ahmad, adalah keterbukaan yang merupakan kebijakan Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Pramono Edhie untuk menyampaikan kejujuran kepada masyarakat.

Terkait keterlibatan institusi atau pihak lain, Unggul mengatakan, sejauh ini bukti permulaan hanya mengarah kepada tersangka yang siap mempertanggungjawabkan tindakan mereka. Kasus ini selanjutnya akan ditangani pengadilan militer.

Terungkap pula bahwa senjata AK-47 yang digunakan saat menyerang LP Cebongan merupakan senjata yang digunakan dalam latihan di Gunung Lawu.

Namun, Unggul membantah ada surat bon (pinjam) tahanan dari polda yang dipakai penyerang. Hal itu hanya tipuan. Mereka yang terlibat dalam penyerangan itu berpangkat tamtama dan bintara. Jumlahnya pun sembilan orang, bukan 17 seperti dugaan selama ini. "Karena mereka pasukan khusus, geraknya cepat, kesannya banyak," kata Unggul.

Sejumlah pihak memberikan apresiasi terhadap keterbukaan TNI AD. Hendardi dari Setara Institute mengatakan, temuan investigasi itu patut diapresiasi walau mengejutkan. Temuan semacam itu langka, apalagi dilakukan dalam waktu singkat. Dia menilai KSAD telah memetik insentif politik dari ekspektasi publik.

Apresiasi juga disampaikan pengamat militer Andi Widjajanto yang melihat keterbukaan itu sebagai budaya militer baru yang tidak lagi menolerir pasukan siluman. Selain itu, menjadi indikator bahwa TNI tidak lagi berupaya memperoleh impunitas jika ada tindak kejahatan yang dilakukan anggotanya.

Hendardi memberikan catatan, pilihan TNI untuk membawa pelaku ke pengadilan militer tidak sepenuhnya memenuhi rasa keadilan publik. Pasalnya, peradilan militer tidak transparan dan akuntabel. Hal senada disampaikan AL Araf dari Imparsial yang mengatakan kasus itu bisa jadi momentum untuk reformasi peradilan militer

Secara terpisah, Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Sutarman seusai bertemu Ketua Komnas HAM Siti Noor Laila, di Mabes Polri, Jakarta, mengatakan, polisi menemukan dua jenis peluru di lokasi kejadian. "Ada dua jenis peluru. Apakah dimuntahkan dari senjata api yang berbeda atau sama, masih diperiksa," katanya.

Ia menjelaskan, di lokasi kejadian antara lain ditemukan 8 selongsong peluru berkode PIN TO 7,62 (Pindad) dan 22 butir selongsong peluru berkode 64359. Dari temuan itu, berarti ada dua jenis peluru yang ditemukan.

Kepolisian, lanjut Sutarman, masih mendalami temuan selongsong peluru tersebut di Pusat Laboratorium Forensik Polri. Ia menambahkan, peluru itu digunakan dari senjata organik.

Komnas HAM terus berkoordinasi dengan Polri dalam menyelidiki tuntas kasus penyerangan LP Cebongan. Menurut Siti Noor Laila, dalam kasus penyerbuan LP Cebongan itu jelas ada indikasi pelanggaran HAM, yaitu hak atas hidup, hak atas rasa aman, dan hak terbebas dari penganiayaan dan perampasan. Komnas HAM berencana bertemu Panglima TNI hari ini.

Keterlibatan anggota Grup 2 Kopassus dalam penyerbuan LP Cebongan merupakan sebuah ironi. Sebab, aparat keamanan yang seharusnya memberikan perlindungan kepada masyarakat justru melakukan pelanggaran dan main hakim sendiri. Hal itu dikhawatirkan, memunculkan trauma bagi masyarakat.

"Tahanan di LP saja bisa terancam, lalu bagaimana jika peristiwa serupa dialami masyarakat di luar LP yang tidak ada pengamanan. Masyarakat akhirnya trauma apabila hal semacam ini terjadi lagi," ujar sosiolog kriminal dari UGM, Yogyakarta, Soeprapto, Kamis.

Halaman
12
Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved