Bupati Sabu Raijua: Pembunuhan Karakter

Bupati Sabu Raja, Ir. Marthen Dira Tome mengatakan, sejak menjabat sebagai bupati, pihaknya berkomitmen memimpin

Editor: Alfred Dama
zoom-inlihat foto Bupati Sabu Raijua: Pembunuhan Karakter
DOK/PK
Marthen Luter Dira Tome
POS KUPANG.COM, KUPANG -- Bupati Sabu Raja, Ir. Marthen Dira Tome mengatakan, sejak menjabat sebagai bupati, pihaknya berkomitmen memimpin dan membangun daerah itu secara baik. Ia bertekat tak boleh ada korupsi di bumi Rai Hawu.

Karena itu, katanya, ketika ada pihak yang berupaya menjerumuskannya dalam isu korupsi, itu sebagai upaya pembunuhan karakter. Karena apa yang telah dilakukannya selalu berpijak pada aturan. Ia mengemukakan itu melalui telepon selulernya, Kamis (30/8/2012) petang.

Tentang kasus korupsi yang dialamatkan ke Sabu Raijua, Dira Tome mengatakan, selama ini ada tiga isu tentang itu. Pertama, pengadaan 20 mobil APV. Tudingan itu sama sekali tidak berdasar karena pemerintah hanya mengatur pengadaan 14 unit mobil untuk operasional para pejabat.  

Jika disebut 20 mobil, lantas di mana enam mobil yang lain? Pengadaan 14 mobil itu pun sesuai mekanisme dan aturan yang berlaku. Bahkan dalam pengadaan itu, pemerintah mampu melakukan penghematan Rp 300 juta lebih. Dana itu ada di kas daerah. Lantas mana letak korupsi dalam kasus itu?

Hal itu telah dibuktikan dengan pemeriksaan BPK NTT tahun 2012. Hasil pemeriksaan itu dinyatakan tidak ada temuan penyalahgunaan keuangan berkaitan dengan pengadaan kendaraan operasional tersebut.

Kedua,  tentang perbuatan korupsi yang berkaitan dengan gaji dan tunjangan 23 PNS di daerah itu. Ia menyebutkan, ketika Sabu Raijua baru menjadi daerah otonom, Bupati Kupang memutasikan banyak PNS ke daerah baru itu.

Dari 58 PNS yang dimutasikan ke Sabu Raijua, umumnya pulang dan hanya 23 PNS yang bertahan. Ketika para PNS itu kebanyakan pulang, tandas Bupati Dira Tome, Sabu Raijua sangat rugi. Karena daerah sangat membutuhkan aparat yang bekerja untuk masyarakat.

Dan, ketika 23 PNS itu bertahan di Sabu Raijua, gaji mereka malah ditahan. Mereka hidup sangat menderita, karena biaya hidup di daerah baru itu relatif tinggi. Istri dan anak-anak mereka pun sengsara lantaran penahanan gaji tersebut.

Setelah ditelusuri mekisme penahanan gaji, lanjut dia, ternyata penahanan gaji itu tidak berdasar.

"Sesuai perintah aturan, penahanan gaji PNS hanya boleh dilakukan apabila PNS bersangkutan sudah dijatuhkan hukuman karena melanggar  PP 30 Tahun 1980 maupun PP 53 tahun 2010 tentang Disiplin PNS," tandasnya.

Namun selama itu, 23 PNS tersebut tidak pernah mendapatkan hukuman disiplin sesuai PP 30/1980 dan PP 53/2010 tentang Disiplin PNS. Tidak pernah ada hukuman disiplin kepada mereka. Karena itu, tidak ada alasan untuk tidak membayar gaji mereka.

"Tapi yang terjadi, gaji mereka ditahan sebelum mereka diberikan hukuman. Itu salah. Karena itu negara memberikan kewenangan kepada bupati untuk meluruskan ketimpangan yang telah dilakukan. Saya diberikan kewenangan diskresi untuk hal seperti ini," tandas Bupati Dira Tome.

Para PNS itu juga, lanjut dia, sudah menandatangani pernyataan bahwa jika suatu saat ada hal yang bertentangan dengan hukum, mereka siap mengembalikan dana yang sudah diterima.

"Jadi, ada dasar yang jelas dalam hal realisasi gaji bagi 23 PNS itu. Penahanan gaji mereka itu salah, karena mereka tidak pernah mendapatkan hukuman sebagai wujud dari pelanggaran disiplin PNS. Tapi coba bayangkan, mereka bekerja di daerah baru dengan segala kekurangan dan kesulitan, sementara gaji mereka ditahan. Padahal istri dan anak-anaknya membutuhkan uang dari gaji suaminya itu," ujar Dira Tome dengan suara bergetar.

Mengenai rencana penggeledahan oleh polisi berkaitan dengan pabrik es mini pada Dinas Pertanian, Kehutanan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sabu Raijua tahun anggaran 2011, ia menjelaskan, pabrik es itu mengalami keterlambatan  pemasangan mesin, karena mesinnya didatangkan dari Cina.

Lantaran jauhnya jarak antara Cina dan Sabu Raijua, juga pelbagai hambatan terutama cuaca saat pengangkutan mesin itu, maka bisa dipahami kalau mesin itu terlambat tiba di Sabu Raijua.

Apalagi dalam hal ini, anggaran untuk pabrik es mini itu baru dicairkan 30 persen sebagai uang muka. Sementara realisasi fisik bangunan pabrik es sudah 100 persen.

Kepada kontraktor pelaksana pun, lanjut dia, panitia sudah memberikan denda  maksimal akibat keterlambatan itu, yakni 5 persen dari nilai kontrak. Denda itu akan dipotong pada saat pencairan dana tahap terakhir. Dana itu pun sampai sekarang tersimpan di kas daerah.

Dengan demikian, tegas Bupati Dira Tome, sesungguhnya pemerintah masih berhutang kepada kontraktor 70 persen. Jika demikian adanya, lantas bagaimana dalam item pembangunan pabrik es itu disebutkan ada korupsi?

Apalagi, lanjut dia, BPK NTT dalam hasil pemeriksaannya hanya memberikan saran untuk mempercepat proses pemasangan mesin dan selanjutnya diadakan serah terima pekerjaan (PHO).  

"Saya perlu sampaikan bahwa saat ini para pejabat pengelola keuangan takut mengemban tugas yang dipercayakan. Padahal disaat yang sama, seluruh rakyat Sabu Raijua membutuhkan pembangunan. Karena itu semua pihak saya minta memahami kondisi di daerah baru itu," ujarnya.

Ia juga meminta agar jangan membesar-besarkan hal yang tidak pada tempatnya. Karena sejak dipercayakan memimpin Sabu Raijua, ia juga telah berkomitmen membebaskan Sabu Raijua dari kasus korupsi.

"Selama memimpin daerah ini, saya adalah orang yang berdiri paling depan melawan korupsi. Saya  sudah berkomitmen membangun Sabu Raijua tanpa korupsi. Tidak boleh ada korupsi di bumi Rai Hawu," tandas Bupati Dira Tome. (ser/kro)

Sumber: Pos Kupang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved