Laporan Adiana Ahmad
Bupati Sumba Pinggir
WAINGAPU, Pos-Kupang.Com -- Setelah sukses dengan buku pertama berjudul Cara Mudah Masuk Surga (Hanya Sebuah Kepura-puraan), Yongky Suaryono kembali mengeluarkan buku bertema kritik sosial, Senin (20/12/2010).
WAINGAPU, Pos-Kupang.Com -- Setelah sukses dengan buku pertama berjudul Cara Mudah Masuk Surga (Hanya Sebuah Kepura-puraan), Yongky Suaryono kembali mengeluarkan buku bertema kritik sosial, Senin (20/12/2010).
Buku berjudul Bupati Sumba Pinggir yang dikemas dalam bahasa-bahasa ringan dan anekdot yang sering digunakan masyarakat Sumba Timur itu, Yongky kembali menyampaikan berbagai keresahan masyarakat dan fenomena sosial di sekitarnya yang selama ini dianggap sepele dan terabaikan.
Dalam acara peluncuran di Gedung Nasional Umbu Tipuk Marisi, Senin malam, Suaryono mengatakan, ide penulisan buku ini berasal dari pernak-pernik interaksi masyarakat Kota Waingapu, ibukota Kabupaten Sumba Timur.
Isi dari buku Bupati Sumba Pinggir, kata Yongky, tidak bermaksud menyentil pribadi orang-orang tertentu. Seluruh isi buku murni menyuarakan berbagai fenomena dan keresahan sosial yang terjadi di masyarakat.
Buku ini mendapat apresiasi dari banyak pihak, termasuk Bupati Sumba Timur, Drs. Gidion Mbilijora, M.Si, tokoh agama sekaligus budayawan Sumba, Pdt. Ilias Raumbani, Pdt. Naftali, tokoh perempuan, mantan Bupati Sumba Timur, dr. Lapamuku, dan seorang penulis Sumba, Frans Wora Heby.
Buku setebal 174 halaman itu mengangkat 24 tema mulai dari masalah politik, sosial kemasyarakatan, masalah moral, masalah ekonomi dan masalah pelayanan publik di daerah itu.
Tema-tema tersebut dikemas dalam 24 judul, dua tema dalam bentuk parodi dan sisanya dalam bentuk esay. Dua tema tulisan dalam bentuk parodi yaitu Ama Dion Jadi Lurah yang menggambarkan tentang pro kontra di masyarakat tentang figur pemimpin di daerah itu setelah ditinggal Ir. Umbu Mehang
Kunda, Agustus 2008 lalu, dan Bupati Sumba Pinggir yang juga dipakai sebagai judul dari buku ini yang menceritakan ragam tanggapan masyarakat di daerah itu mengenai wacana pemekaran Kabupaten Sumba Timur.
Dalam tulisan dengan peran utama tiga tokoh Nyang, Nying dan Nyong itu, diungkapkan ada sebagian masyarakat yang mendukung pemekaran dengan alasan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, tapi ada masyarakat menentang pemekaran dengan alasan belum layak karena berbagai faktor seperti sarana prasarana, SDM dan jumlah penduduk.
Dalam tulisan ini, penulis ingin mengajak pembaca pada pilihan-pilihan sesuai fakta dan menyikapi secara arif tanpa ada upaya mendikte opini.
Dalam tulisan lain, berjudul Ka-Te-Pe, penulis juga menggambarkan betapa mahalnya pelayanan publik bagi orang kecil. Orang desa dari pedalaman harus datang ke kota hanya untuk mengurus KTP dengan biaya transportasi dan akomodasi lebih tinggi dari tarif pengurusan KTP itu sendiri. Belum lagi tip untuk petugas pembuat KTP agar mendapat pelayanan lebih cepat.
Buku ini juga berisi eufemisme dan idiom-idiom yang berkembang di Sumba lewat artikel Re Nda Maka Lolo Masu Go, Bossnya-Boss, Datang Sa pung Gila, Putus Telinga dan juga Apa Kabar.Masing-masing membawa pesan moral sendiri. Walau tulisan dalam buku Bupati Sumba Pinggir sarat dengan kritikan terhadap institusi pemerintahan, penegak hukum, politisi, pembaca diajak untuk menyelami diri dan perilaku sendiri lewat artikel Valentine, Teman Lama, Baju Koh Djie, Dress Code dan Nggamu Kau.
Pada tulisan berjudul Valentine sesungguhnya penulis ingin menggambarkan bahwa masyarakat kita selama ini sering terjebak dengan budaya luar yang sesungguhnya tidak membawa manfaat apa-apa.
Demikian juga pada tulisan berjudul Baju Koh Djie yang mengisahkan seorang keturunan Tionghoa menikah dengan seorang wanita muslimah dan menjadi mualaf lalu mendapat tantangan berat dari keluarga dan orang-orang terdekatnya.
Dalam tulisan ini penulis ingin menggambarkan sikap masyarakat kita yang masih terjebak dalam fanatisme agama yang berlebihan.
Tulisan penutup berjudul Nggamu Kau (Siapa Kamu), merupakan sebuah tulisan perenungan diri yang mengajak pembaca merefleksi diri sendiri siapa sesungguhnya kita dan untuk apa kita hidup.
Bupati Sumba Timur, Drs. Gidion Mbilijora menilai buku ini sarat dengan kritik membangun dan pesan moral. Dengan bahasa yang ringan, kata Gidion, sang pembaca termasuk pejabat pemerintah lupa kalau tulisan itu sedang menyentil dirinya.
Frans Wora Heby, salah satu penulis Sumba, menilai buku ini sarat makna dan hanya orang-orang yang memiliki kepekaan inderawi seperti Yongky HS Suaryono yang mampu menangkap hal-hal yang tidak berarti menjadi sesuatu yang sangat menarik untuk dibaca. (dea)