Laporan Adiana Ahmad
Mendesak, Rekonstruksi Batas TNLW
WAINGAPU, Pos Kupang.Com---Rekonstruksi tapal batas Taman Nasional Laiwanggi Wanggameti (TNLW) mendesak dilakukan guna menyelesaikan dan mengantisipasi konflik tapal batas yang selama ini menjadi polemik sejak kehadiran tambang emas di sekitar kawasan hutan di dataran tertinggi di Sumba itu. Rekonstruksi tidak hanya untuk kepentingan tambang, tetapi juga sangat penting bagi masrakat di sekitar taman nasional tersebut.
WAINGAPU, Pos Kupang.Com---Rekonstruksi tapal batas Taman Nasional Laiwanggi Wanggameti (TNLW) mendesak dilakukan guna menyelesaikan dan mengantisipasi konflik tapal batas yang selama ini menjadi polemik sejak kehadiran tambang emas di sekitar kawasan hutan di dataran tertinggi di Sumba itu.
Rekonstruksi tidak hanya untuk kepentingan tambang, tetapi juga sangat penting bagi masrakat di sekitar taman nasional tersebut.
Data yang dikeluarkan Koppesda menunjukkan tingkat gangguan terhadap kawasan TNLW sudah serius.
Berbagai persoalan yang berkaitan dengan TNLW terungkap saat rapat koordinasi pengamanan Taman
Nasional Laiwanggi Wanggameti (TNLW) di Balai Taman Nasional Laiwanggi Wanggameti, Senin (1/11/2010).
Rapat koordinasi melibatkan unsur kehutanan, Balai aman Nasional, Polri, TNI, Kejaksaan, Badan Lingkungan Hidup, Pemerintah Desa dan para Kapolsek sekitar TNLW. Rakor membahas berbagai gangguan yang mengancam taman nasional ini.
Dalam pertemuan itu terungkap gangguan terhadap taman nasional karena fator budaya seperti penebangan liar terhadap jenis kayu tertentu untuk pembuatan rumah adat orang Sumba. Jenis kayu yang dibutuhkan untuk rumah adat sebagian besar berada dalam kawasan hutan lindung, atau taman nasional. Selain itu, kawasan hutan menjadi tempat hamayang (sembahyang) penganut kepercayaan Merapu. Juga-tempat-tempat peninggalan sejarah leluhur orang Sumba, juga lahan masyarakat dan padang pengembalaan yang ada dalam kawasan taman nasional sebelum kawasan hutan tersebut ditetapkan sebagai kawasan hutan konservasi.
Namun Kepala Balai TN Laiwanggi Wanggameti, Kuppin Simbolon mengatakan keberadaan lahan masyarakat dalam Kawasan Taman Nasional sebelum atau sesudah penetapan taman nasional tetap tidak dibenarkan.
Namun ada kearifan lokal yang bisa dibicarakan bersama untuk mengatasi masalah tersebut karena di taman nasional juga ada ketentuan zonasi yang bisa dimanfaatkan masyarakat.
Kuppin mengatakan, gangguan di kawasan TNLW antara lain penggembalaan liar, pencabutan papan nama dan pilar sehingga mengaburkan tapal batas TNLW, pencurian kayu, perambahan hutan, tambang dan kebakaran hutan.
Berdasarkan data dari Koppesda Sumba tahun 2009, ada 713,2 ha lahan pertanian di 12 desa sekitar taman nasional yang berada dalam kawasan taman nasional. Sementara luas kebun masyarakat yang ada dalam Kawasan TNLW 242 hektar.
Mengatasi gangguan ini, kata Kuppin, pihaknya mengalami keterbatasan misalnya, sengketa tapal batas, kualitas SDM pengelola belum optimal, ekploring datang potensi kawasan secara ilmiah belum tuntas, sarana prasarana tidak memadai dan dukungan publik yang masih rendah.
Saat ini kata Kuppin, Balai Taman Nasional hanya memiliki 12 polisi hutan, tiga orang PPNS. Apalagi sarana dan prasarana yang dimiliki PPNS dan Polhut belum memadai.
Kuppin menyoroti proses penegakkan hukum terhadap kasus kehutanan di daerah yang cukup lama. Sebaiknya proses terhadap kasus kehutanan tidak bertele-tele.
Tantangan lainnya kata Kuppin, ekowisata di kawasan itu masih rendah, akses jalan belum memadai, sinergitas pengembangan ruang wisata rendah, peran serta publik rendah juga mitra belum memiliki persepsi yang sama.
Tantangan ini, kata Kuppin sebenarnya bisa menjadi peluang untuk mendatangkan pendapatan bagi daerah jika bisa dimanage dan dikelola dengan baik.
Rapat koordinasi juga merekomendasikan agar dialog berbagai pihak dilakukan terus menerus terkait kehadiran tambang di sekitar Taman Nasional Laiwanggi Wanggameti. (dea)