Oleh JB Kleden
Anggur Merah itu, dan Merdeka!
SAMBIL mendengarkan pidato Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya, pada pembukaan Pameran Pembangunan HUT ke-65 Proklamasi Kemerdekaan RI, 13 Agustus 2010 lalu di Arena Fatululi, Fritz, anak saya berkata, "Bapa, berarti sekarang kita sudah merdeka 65 tahun to? Lalu anggur merah tu yang keq tiu Imo biasa minum tu ka?"
SAMBIL mendengarkan pidato Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya, pada pembukaan Pameran Pembangunan HUT ke-65 Proklamasi Kemerdekaan RI, 13 Agustus 2010 lalu di Arena Fatululi, Fritz, anak saya berkata, "Bapa, berarti sekarang kita sudah merdeka 65 tahun to? Lalu anggur merah tu yang keq tiu Imo biasa minum tu ka?"
Secara sepintas terasa wajar pertanyaan ini dari seorang anak kelas 4 SD. Anak-anak bersifat kanak-kanak, anak-anak bertindak secara kanak-kanak, anak-anak bertanya secara kanak-kanak, maka sudah barang tentu tak memerlukan jawaban yang panjang lebar. Maka saya menjawab secara singkat, "Ya, sudah merdeka, makanya sekarang kita bisa duduk angkat kaki, makan jagung bakar di sini sambil goyang-goyang kaki mendengar pidato bapak gubernur. Kalau tidak merdeka, mana mungkin kita bisa buat begini. Dan anggur merah? Ya, ya, seperti itu, kedengarannya enak, tapi mendapatkannya susah. Makanya sekarang kita makan jagung bakar, tapi tidak bisa minum anggur merah keq tiu Imo."
Itu pertanyaan anak-anak. Dia tanya apa adanya karena dia toh tak tahu apa makna penjajah. Namun apabila direnungkan maknanya secara kontekstual dan juga aktual, pertanyaan tersebut bagi orang dewasa mungkin menjadi sebuah joke (lelucon) yang miris, untuk kita renungkan pada saat kita merayakan HUT ke-65 Proklamasi Kemerdekaan RI dengan prinsip semeriah mungkin tapi juga harus sehemat mungkin, seturut sebuah dalil ekonomi yang kami hafal dulu di bangku SD, berusaha sekecil mungkin untuk mendapatkan hasil sebanyak-banyaknya. Maka saya kemudian mengubah pertanyaan sang anak tadi menjadi seperti ini, "65 tahun Proklamasi Kemerdekaan, benarkah kita sudah merdeka 65 tahun?"
Sebagai bangsa, sebagai negara, kita memang sudah merdeka. Merdeka 65 tahun, terhitung sejak Bung Karno atas nama bangsa Indononesia mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan kita pada tanggal 17 Agustus tahun 1945 pukul 10.00 pagi dari Gedung Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Momentum heroik pada detik-detik proklamasi kemerdekaan hari itu secara yuridis telah membebaskan bangsa dan negara kita dari belenggu penjajahan sekaligus menyejajarkan bangsa kita dengan bangsa-bangsa lain di dunia, termasuk Portugis, Belanda, dan Jepang yang menjajah kita waktu itu. 65 Tahun berlalu, saat-saat mendebarkan itu kini tinggal kenangan di benak para pelaku sejarah, apakah kita benar-benar benar sudah merdeka 65 tahun? Dan Anggur Merah itu, bisakah kita semua meminumnya tanpa menjadi mabuk?
Membangun bangsa yang merdeka, bersatu dan berdaulat bukanlah perjuangan ringan. Tidak hanya cucuran keringat, air mata dan darah, tetapi juga nyawa menjadi saksi sejarah. Tetapi membangun masyarakat yang benar-benar merdeka, yang adil makmur sejahtera sesuai tujuan dan cita-cita kemerdekaan, ternyata jauh lebih rumit lagi. Laporan Kompas selama bulan Agustus ini dalam tema besar 65 Tahun Indonesia menunjukkan sebagian besar bangsa kita belum merdeka dalam arti yang sesungguhnya. Bahkan lebih ironis lagi, bangsa kita yang belum merdeka itu, dikorupsi kesejahteraannya oleh para pejabat dan wakilnya sendiri di legislatif. Maka 65 tahun Proklamasi Kemerdekaan, benarkah kita sudah merdeka 65 tahun?
Sebagai bagian dari sebuah bangsa yang telah merdeka 65 tahun, secara otomatis kita memang sudah memiliki kemerdekaan. Kita bisa melakukan berbagai aktivitas kita sebagaimana layaknya warga dari sebuah negara yang merdeka dan berdaulat. Bahwa ada warga negara yang merasa terampas kemerdekaannya, sebagaimana laporan Kompas, 65 Tahun Indonesia, kita bilang itu hanya persoalan kecil dibandingkan dengan kemerdekaan yang kita peroleh sebagai rakyat dari sebuah negara yang merdeka. Memang dibanding dengan kemerdekaan nasional, kejadian kecil yang menyangkut terampasnya kemerdekaan warga negara perorangan, terasa kecil dan tak berarti. Hanya orang Rote bilang, cuma sa.
Kita memang sudah merdeka 65 tahun sebagai bangsa, cuma sa sebagai warga dari negara yang merdeka dan berdaulat, kalau kita kembalikan kepada hakikat dan tujuan dari perjuangan kemerdekaan, maka kejadian-kejadian kecil yang kita anggap biasa itu sebenarnya merupakan pengingkaran dari pernyataan kemerdekaan nasional itu sendiri. Suatu ironi yang luar biasa, karena kemerdekaan nasional yang diperjuangkan dengan tetesan darah, air mata dan nyawa itu justeru melahirkan penindasan dalam bentuk baru yang dirancang oleh para wakil rakyat sendiri yang kini dengan bangga disapa Anggota Dewan Yang Terhormat, dan disahkan oleh pemerintah yang dipilih oleh rakyat sendiri yang sekarang disapa dengan Bapak Ibu Pejabat yang Terhormat juga, melalui aturan, perda, dan program yang pro rakyat. Pro rakayat? Ya, pro rakyat, cuma sa rakyat yang mana e... Jawaban yang lazim di negeri yang sedih dan tak sempurna ini, ialah bahwa semua pemerintah, semua wakil rakyat mengatakan mereka berdiri di tengah rakyat. Tapi sedihnya mereka masih terus saja mencari rakyat dan tak kunjung menjumpainya sampai mereka turun dari singgasananya.
Realitas empirik yang diturunkan Kompas dalam 65 Tahun Indonesia menunjukkan bahwa 65 tahun proklamasi kemerdekaan, kita memang telah merdeka secara nasional, cuma sa, selalu kata orang Rote, koq ketong rasanya belum merdeka-merdeka ju. Oleh karena itu diperlukan perjuangan kedua untuk merebut kembali kemerdekaan itu. Bagaimana caranya? Kalau pada perjuangan pertama kemerdekaan direbut dari tangan penjajah, Belanda, Portugis, Jepang, melalui kekuatan fisik, maka pada perjuangan kemerdekaan kedua harus direbut dari tangan-tangan yang merampas, ya dari tangan para pejabat pemerintah dan wakil kita yang korup. Juga dari premanisme.
Kita tahu perjuangan ini tidak mudah. Karena ini bukan soal angkat bambu runcing dan pi colok mereka di kursi jabatannya. Ini perlu gerakan moral dan penyadaran intelektual. Pemerintah kita memang selalu lebih pintar dari rakyat dan seharusnya demikian, maka mereka sudah merumuskan gerakan moral dan penyadaran intelektual itu dalam satu bahasa yang sangat bagus, "Mari, dengan Semangat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Kita Sukseskan Reformasi Gelombang Kedua, untuk Terwujudnya Kehidupan Berbangsa yang Makin Sejahtera, Makin Demokratis, dan Makin Berkeadilan." Hust, jangan nyengir, yang pasti dengan tema ini ada gerakan untuk mengembalikan kemerdekaan yang dirampas itu.
Kita di NTT, Pak Gubernur dan Wakil Gubernur telah merumuskan tekad itu untuk Sehati Sesuara Membangun NTT Baru. Semangat ini, seperti dalam pidato Gubernur NTT pada upacara peringatan detik-detik Proklamasi Kemerdekaan RI kemarin, memberikan ruang terbuka kepada semua orang untuk berpartisipasi dan mendedikasikan kompetensinya, bertoleransi dan rukun dalam dinamika kultur. Komitmen ini membutuhkan keharmonisan. Dan roh dari kerhamonisan ini adalah keadilan. Agar keadilan lebih dinikmati, maka digulirkanlah Program Desa Mandiri Anggur Merah dengan memberikan bantuan Rp 250 juta per desa/kelurahan kepada 287 desa/kelurahan di setiap kecamatan mulai tahun 2011.
Maka harapan terbesar saat mendengar pidato mengenai Desa Anggur Merah itu adalah, semoga saja anggur merah itu tidak memabukkan 287 kepala desa/lurah yang menerima paket Anggur Merah itu, lalu mereka berkata kepada rakyatnya, 'mari sehati sesuara ketong habiskan Anggur Merah ini secara proporsional.' Sehingga Anggur Merah di Desa Mandiri itu akhirnya kelak dinikmati juga oleh anak saya. Dan mungkin pada saat itu dia akan mengerti dan berteriak, merdeka.
Di China, sebelum revolusi, para petani kelaparan. Mereka memakan kulit kayu. Setelah revolusi, sosialisme menjanjikan kehidupan yang nyaman dengan 'rangsangan materi'. Tetapi ketika 'rangsangan materi' diperkenalkan kepada pekerja, timbul gejala keserakahan di satu pihak dan cemburu di pihak lain. Lalu Mao bertindak.... Tetapi sejarah belum selesai untuk mengatakan apakah Mao salah. Dalam film The Gods Must be Crazy, sebuah botol (bukan anggur merah) dijatuhkan dari langit (dilemparkan dari pesawat, disengajakan memang sebagai pemberian) ke sebuah kampung orang primitif di Afrika. Kekayaaan baru itu ternyata menimbulkan pertikaian. Maka si kepala suku akhirnya memutuskan mengembalikan botol itu kepada pada dewa. Pertanyaan kita sekarang adalah, benarkah tindakannya? Tidakkah seharusnya ia menciptakan lebih banyak botol lagi dan memasuki peradaban yang sejahtera?
Kampung Mandiri Anggur Merah bukan China di zaman sosialisme. Juga bukan sebuah kampung primitif dalam The Gods Must be Crazy itu. Maka mari Bung Frans, ayo Bu Esthon, kasih tangan mari ketong bikin janji, karena ujian terbesar bagi suksesnya Desa Mandiri Anggur merah bukanlah terutama terletak pada kemauan untuk menuangkan Anggur Merah itu pada gelas rakyat, melainkan pada keterampilan untuk menghindari kemabukan dari keharusan meminum Anggur Merah itu.
Pak Gubernur, Pak Wakil Gubernur, Pak Ketua DPRD dan seluruh jajarannya, sudah baca koran hari ini, di sana ada banyak berita mengenai ironi-ironi kemerdekaan. Selamat HUT ke-65 Proklamasi Kemerdekaan, selamat datang Anggur Merah. *
PNS Kanwil Kementerian Agama NTT