Oleh JB Kleden

Mungkinkah Madrasah Sebagai Panti Kerukunan?

ADALAH seorang Pius Rengka, SH, M.Sc, yang melontarkan pertanyaan menggelitik yang menjadi judul tulisan ini. Dalam seminar sehari bertajuk "Peningkatan Toleransi dan Kerukunan dalam Kehidupan Beragama" yang diselenggarakan Badan Kesabangpol dan Linmas Provinsi NTT di Sasando Internasional Hotel, Kupang, Senin (19/10/2009)....

usai Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi NTT, Drs. Sega Fransiskus, M.Si, membawakan materi "Strategi Penguatan Kerukunan Umat Beragama di NTT," mantan anggota DPRD NTT yang menurut kreba baling salang, maju sebagai Cawabup Manggarai periode mendatang ini mengatakan kepada penulis begini, "Jack, Program Tiga Pilar Kakanwil Anda itu sangat bagus. Saya punya pemikiran, madrasah-madrasah kan ada dalam domain kerja Departemen Agama. Kenapa tidak saja memulai strategi peningkatan Kerukunan Umat Beragama dalam rangka mewujudkan visi "NTT Baru: Masyarakat Agamis Rukun Mengharum" dengan menjadikan madrasah-madrasah di NTT sebagai panti kerukunan?"

"Maksudnya?" Saya mencoba mengorek kraeng Pius Rengka, dengan gagasannya tersebut. "Jack, panti itu bernuansa home. Iklim panti adalah keadaban, bukan kebudayaan. Madrasah sebagai panti kerukunan artinya Depag harus bisa mengembangkan pendidikan di madrasah ke arah pembentukan keadaban kerukunan,  bukan pada kebudayaan kerukunan. Saya mendapat kesan dialog-dialog kerukunan yang ananda mereka lakukan selama ini predominate kebudayaan kerukunan dan bukan pada pembentukan keadaban kerukunan."

Sulit menebak samudera pemikiran Pius Rengka hanya dalam sebuah obrolan sekenanya saja. Kendati demikian, agaknya Pius Rengka tidak berlebihan. Memang terdapat perbedaan nuansa antara kebudayaan dan keadaban. Kebudayaan lebih dekat dengan measure of mind (aksi nalar), sementara keadaban adalah inward cultivate.  Kalau dialog kerukunan yang dilakukan Depag selama ini terkesan predominate kebudayaan, artinya kerukunan yang ada sekarang adalah prestasi measure of mind umat beragama yang saling berkorelasi membangun kekompakan sosial, dan bukan sebagai hasil inward cultivate (olah batin) umat beragama membangun perasaan saling memiliki dan bertanggung jawab. Dengan demikian, kebersandingan antara gereja, masjid, kuil, wihara yang kita saksikan sekarang lebih sebagai hasil dari progress of religiousity yang bernuansa kultural dan tidak bisa menjadi indikasi tumbuhnya peradaban saling memiliki Katolik-Krotestan-Islam-Hindu-Budha yang menjadi sasaran keadaban.

                               
                   ***

MESKI tidak disebutkan secara eksplisit dalam materinya, gagasan menjadikan madrasah sebagai panti kerukunan sebenarnya sudah menjadi sebuah pakta yang ditandatangani bersama oleh seluruh Kepala Madrasah se-NTT dengan Kakanwil Agama NTT, Januari 2008 lalu. Kesepakatan itu terus digaungkan Kakanwil Agama NTT dalam safari pendidikannya ke berbagai madrasah di NTT. Terakhir pada peresmian penegrian 6 madrasah, masing-masing 3 di Kabupaten Flores Timur (12/10/2009) dan 3 di Kabupaten Ende (14/10/2009) secara tegas dan meyakinkan Kakanwil Agama NTT mengulangi tekadnya untuk menjadikan madrasah-madrasah di NTT sebagai panti kerukunan.

Di hadapan Bupati Flotim, Wakil Bupati Ende, para guru, kepala madrasah dan komite madrasah di dua kabupaten tersebut, Drs. Sega Fransiskus, M.Si, sebagai pucuk pimpinan tertinggi semua satuan organisasi Departemen Agama di NTT, dengan terang-terangan melakukan otokritiknya, bahwa kesan umum yang dimiliki masyarakat mengenai madrasah kita adalah eksklusivisme. Madrasah masih dilihat dengan sebelah mata oleh pihak luar karena ketertutupannya. Karena itu diharapkan ke depan, madrasah-madrasah harus bisa membangun paradigma inklusif.
 
                             
                 ***

JIKA dikaitkan dengan gagasan terlepas Pius Rengka, SH.,M.Sc., sebenarnya ada suatu guideline di sini meski dibahasakan secara berbeda. Jika kerukunan berbalut undang-undang identik dengan kebudayaan kerukunan, maka sebenarnya penguatan kerukunan tanpa harus diselimuti UU dalam Program Tiga Pilar Kakanwil Agama NTT tersebut adalah sebuah otokritik terhadap formalisme pelaksanaan kegiatan-kegiatan kerukunan yang dilakukan Kanwil Depag NTT selama ini sekaligus sebagai sebuah starting point untuk melakukan semacam engineer civility (rekayasa keadaban) menghantar madrasah-madrasah kita memasuki new age sebagai panti kerukunan.

Pertanyaan sekarang adalah dari mana semua itu harus mulai? Dengan asumsi bahwa pendidikan agama mempunyai peran yang sangat besar dalam menumbuhkembangkan aspek-aspek kerukunan dalam diri anak, maka hal pertama yang mendesak untuk segera dilakukan Departemen Agama adalah mulai mencari format pendidikan/pembelajaran agama di madrasah yang mencerahkan tanpa prasangka kepada anak.

Secara umum harus diakui bahwa pendidikan agama di sekolah umumnya termasuk di madrasah-madrasah memang belum mencerahkan. Meski telah dilakukan berbagai pembenahan kurikulum sampai terakhir dengan KTSP, sepanjang sejarahnya pendidikan agama dalam kurikulum pendidikan nasional kita tidak lebih dari sekadar pelengkap yang harus ada sekadar memenuhi tuntutan kondisi (karena kita adalah bangsa yang beragama?) dan terpisah dari keilmuan yang lain. Pendidikan agama tak pernah mengalami sentuhan serius untuk dikembangkan sebagai perubahan kehidupan yang terus berjalan. Sejak dulu materi pendidikan agama berkutat seputar persoalan akidah/dogma dan ritual formal yang terkesan eksklusif.

Format pendidikan agama seperti ini, disadari atau tidak, secara sistemik menonjolkan perbedaan agama dalam diri anak. Anak didik tidak diajarkan untuk melakukan komunikasi iman antarmereka (seagama maupun yang berbeda agama) dan saling mengenal serta membangun persepahaman, sebaliknya menuntut anak didik mengidentifikasikan agama 'si kariting' berbeda dengan agama 'si lurus'. Dengan dalih amanat UU Sisdiknas, pelajaran agama diberikan sesuai dengan agama masing-masing dalam ruang kelas tersendiri yang tertutup rapat, seakan tabuh untuk didengarkan secara bersama. Lebih ironis lagi, para guru agama pun berlomba untuk menjadi agama mereka seperti 'Piala Dunia' yang harus dipertahankan mati-matian dengan menghalalkan segala cara.

Pertanyaan yang perlu menjadi pemikiran serius bagi para guru agama adalah apakah memang anak-anak membutuhkan identifikasi agama yang begitu ketat pada usia mereka? Jawaban dari sudut psikologi perkembangan, anak-anak tidak membutuhkan itu. Keyakinan agama sebagian besar tidak bermakna bagi anak-anak meskipun mereka menunjukkan minat untuk beribadat (Hurlock, 1996). Kalau begitu pelajaran agama yang begitu ketat menjadi kebutuhan siapa?

Jawaban jelas. Pertama, demi kepentingan identitas orangtua. Orangtua berkepentingan untuk menjaga anaknya harus satu agama dengan mereka, sehingga kepada anak ditanamkan agama sendiri begitu kuat dengan mengatakan agama lain salah semua. Kedua, karena agama dimasukkan dalam kurikulum sekolah, maka jelas demi kepentingan pemerintah. Memang untuk negara yang beragam seperti Indonesia, pemerintah punya kepentingan untuk menjaga pluralisme agama sebagai keniscayaan. Sayangnya, itu tidak dikelola dengan baik. Madzab yang dianut pemerintah adalah ideologi developmentalisme yang mengejar stabilitas. Pluralisme agama lebih dianggap sebagai ancaman daripada kekayaan bangsa, sehingga sejak dini anak sudah direkayasa untuk 'rukun' semu daripada diajarkan pengertian yang wajar dan proporsional tentang pluralisme agama sebagai bagian dari kemahakuasaan dan kekayaan Allah yang tak terselami.

Dengan demikian, jika kita ingin kerukunan menjadi keadaban bersama, maka pendidikan agama di sekolah yang sarat dengan kelemahan mendasar ini harus diubah. Kedangkalan pemahaman yang melatarbelakangi pola pikir para orangtua dan penekanan pada stabilitas oleh negara perlu ditelaah secara kritis dan menyeluruh untuk merekonstruksi pendidikan agama di sekolah. Perlu dilakukan obyektivikasi paham inklusif dan pluralisme agama di lembaga pendidikan formal, khususnya di jenjang pendidikan dasar dan menengah.

                                 
                               ***

KEMBALI ke keinginan untuk menjadikan madrasah-madrasah di NTT sebagai panti kerukunan. Meski bukan seorang muslim, sebagai warga Depag yang memiliki madrasah, agar supaya rekayasa keadaban yang dilakukan Kakanwil Agama bisa berhasil, perlu dilakukan beberapa hal. Menurut hemat penulis, hal pertama yang harus dilakukan adalah mencari format penanaman nilai-nilai keislaman tanpa menanamkan prasangka terhadap agama-agama non muslim di dalam diri anak didik kita di madrasah. Anak-anak kita di madrasah harus diberikan pemahaman yang benar mengenai agamanya dan agama orang lain. Islam sebagai rahmatan lil'alamin yang mengandung nilai religiositas dan moralitas luhur dan bersahaja, jangan dipersempit dan direduksi oleh para guru pada tataran praktik di dalam kelas.  

Kedua,  madrasah sebagaimana lembaga pendidikan formal lainnya adalah ruang bergaul yang lebih luas bagi anak setelah rumah. Maka di madrasah anak hendaknya diberi ruang yang lebih luas untuk mengenal 'yang lain' karena transfer nilai dan ajaran normatif keagamaan pada tempat pertama adalah tugas dan tanggung jawab orangtua di rumah. Madrasah hendaknya melengkapi dan memperluas pendidikan normatif keagamaan dengan persoalan keagamaan yang lebih substansial yang tidak pernah dikuak secara kritis di rumah. Sejarah Islam telah mencatat dengan tinta emas, bahwa Nabi Muhammad SAW berhasil membangun keadaban kerukunan beragama yang melandasi kekompakan umat di Madinah.

Jika interaksi keadaban kerukunan yang kompulsif pada perjuangan persamaan, solidaritas, tanggung jawab dan cinta kasih sebagaimana diukir indah dalam Piagam Madinah menjadi jiwa pendidikan di madrasah-madrasah kita, maka bukan tidak mungkin madrasah-madrasah kita akan melahirkan generasi muda Islam yang mumpuni di mana 'si kariting' dan 'si lurus' bisa bergandengan dalam persaudaraan sejati tanpa kehilangan otonomitas masing-masing dalam ziarah bersama menuju rumah Allah SWT yang dari dalamNya kedua putra Abraham, bapak kaum beriman,  Ishak dan Ismail mendapat berkat. *



PNS pada Kanwil Departemen Agama Provinsi NTT

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved