Opini Pos Kupang
Wajah Walikota di Karang Dempel
Padahal sebaliknya, kontrol semakin sulit untuk dilakukan. Sangat disayangkan kebijakan ini juga diamini dan dilakukan
Oleh Pdt. Emmy Sahertian
Pendeta dan Aktivis Peduli HIV/AIDS
POS-KUPANG.COM - Keputusan Pemerintah Kota Kupang untuk menutup lokalisasi Karang Dempel merupakan bentuk kekeliruan logika dasar, sebab menutup lokalisasi tidak berarti menutup pelacuran atau prostitusi. Artinya tanpa `lokalisasi' upaya intervensi pencegahan dan perlindungan warga dari bahaya HIV/AIDS semakin sulit dikontrol.
Penangkapan beberapa artis di Surabaya baru-baru ini menunjukkan seks telah menjadi industri dan beroperasi tanpa harus melalui `lokalisasi', dengan berbasis media online. Di Kupang, hal yang sama juga terjadi dengan masif, tanpa mendapatkan perhatian memadai, baik lewat prostitusi online, maupun spa/pitrad yang juga melakukan praktik prostitusi.
Penutupan lokasi "Karang Dempel" Kupang yang selama ini disebut sebagai sebuah lokalisasi para pekerja seks adalah bagian dari kebijakan nasional Indonesia bebas lokalisasi.
• Perselingkuhan Dosen dan Mahasiswi di Kupang, Ini 5 Faktor Psikologi Terjadinya Perselingkuhan
• Ramalan Zodiak Jumat 11 Januari 2019: Sagitarius Batasi Pengeluaran, Leo Bakal Lalui Hari yang Buruk
• Jadi Drama Korea Pertama yang Tayang di Youtube, Ini 4 Fakta Drakor Top Management
Tindakan ini oleh Pemkot Kupang disambut baik untuk memberantas "penyakit sosial" dan dianggap dapat memberantas angka penularan HIV dan AIDS.
Padahal sebaliknya, kontrol semakin sulit untuk dilakukan. Sangat disayangkan kebijakan ini juga diamini dan dilakukan oleh seorang doktor dan dokter yang memimpin sebuah kota.
Absurditas Keputusan Walikota
Lebih absurd lagi, upaya ini juga dianggap dapat meningkatkan martabat bangsa dan negara dengan mencontoh apa yang telah dilakukan di Jakarta dengan lokasi Kramat Tunggak dan Kali Jodo, juga kebijakan Ibu Risma, Walikota Surabaya dengan kebijakan penutupan Lokalisasi Gang Doli Surabaya.
Nada dasar dari keputusan menutup lokalisasi KD disebut dengan alasan yang sangat moralistik. Kita mungkin perlu berpikir ulang dengan kepala lebih dingin. Sebab ketika kita menutup lokalisasi, tidak berarti pelacuran langsung berakhir. Setidaknya ada tiga hal yang perlu dipertimbangkan berdasarkan premis ini.
Pertama, istilah "lokalisasi" adalah sebuah pendekatan kesehatan masyarakat untuk melokalisir, mengontrol dan memutus mata rantai sebuah epidemik atau pewabahan yang mengancam jiwa masyarakat. Dulu orang mengatakan tentang rumah bordil atau rumah pelacur, tetapi kemudian belakangan kita mulai terbiasa menggunakan kata lokalisasi.
Disebut demikian karena tingkat penyebaran Infeksi Menular Seksual (IMS), juga HIV dan AIDS dalam masyarakat makin tinggi dan menelan banyak korban jiwa.Untuk mengontrol, mengendalikan dan memutuskan mata rantai epidemik perlu dilokalisir, dan kelompok yang bisa dijangkau adalah para pekerja seks..
Seharusnya variabel lain yang pelu dikendalikan secara intensif adalah para pembeli seks yang banyak itu, tapi mereka sulit dijangkau. Karena sulit dijangkau, maka dalam proses intervensi lokalisasi pekerja seks jauh lebih bisa dijangkau.
Secara intensif mereka diperiksa kesehatan, pengendalian IMS sebagai bagian dari upaya pemutusan mata rantai penularan HIV/AIDS melalui edukasi, pemberdayaan dan wajib penggunaan kondom bagi pembeli seks yang datang.
Namun, bila lokalisasi ini ditutup, maka semua upaya pemutusan mata rantai penularan akan buyar karena para pekerja seks tidak akan memiliki akses untuk perlindungan dan pengontrolan dari terkaman para pembeli seks yang begitu tersebar di mana-mana tanpa bisa terkendali.
Sekali lokalisasi ini ditutup maka para pembeli seks akan menciptakan "pasar pelacuran" baru yang tidak bisa dikendalikan oleh apapun bahkan lebih canggih.