Berita NTT
Laurensius Sayrani ! Penindakan Mestinya di Level Birokrasi
pemecatan ASN yang telah terbukti atau berkekuatan hukum tetap melakukan tindak pidana korupsi memang harus dipecat. Namun bagi saya, itu tidak
Penulis: Oby Lewanmeru | Editor: Ferry Ndoen
Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Oby Lewanmeru
POS-KUPANG.COM/KUPANG -- "Bagi saya, dalam konteks NTT, pemecatan ASN yang telah terbukti atau berkekuatan hukum tetap melakukan tindak pidana korupsi memang harus dipecat. Namun bagi saya, itu tidak memadai, karena seharusnya penindakan terhadap korupsi mesti dimulai di level manajemen birokrasi,".
Hal ini disampaikan Pengamat Politik dan Kebijakan Publik dari FISIP Undana, Laurensius Sayrani , Minggu (25/11/2018).
Baca: Wens Sudah Siap Gantikan Amuntoda
Menurut Laurensius, dalam konteks NTT, kebijakan untuk memecat ASN yang terbukti korupsi itu baik, namun, lebih baik harus ada tindakan pencegahan di lingkungan birokrasi.
"Artinya mesti ada manajemen diteksi dan penindakan perilaku korupsi di level birokrasi. Korupsi harus dikenali secara dini oleh manajemen birokrasi dan langsung dimatikan juga pada level ini," kata Laurensius.
Dijelaskan, untuk penindakan dan pencegahan tindakan korupsi ini tantangan penataan manajemen anti korupsi dalam birokrasi NTT yang harus diinisiasi oleh rezim pemerintahan sekarang ini.
"Korupsi dan pelakunya harus dilacak dan diberi tindakan terutama pada level manajemen birokrasi. Artinya, harus ada mekanisme deteksi dini korupsi melalui mekanisme manajemen birokrasi sekaligus penindakannya. Manajemen deteksi terhadap inefisiensi dan misalokasi kebijakan harus aktif dalam birokrasi," jelasnya.
Tentang upaya itu NTT, ia mengakui manajemen anti korupsi dan deteksi korupsi belum terkonsolidasi secara baik.
"Pada prinsipnya , korupsi itu masuk sebagai kejahatan luar biasa dan terutama dilakukan oleh pejabat publik khususnya ASN, korupsi mempunyai daya rusak yang besar terhadap manajemen birokrasi dan kebijakan publik," jelasnya.
Laurensius mengatakan, korupsi lingkup birokrasi biasanya terjadi secara sistimatis merusak efisiensi dan menciptakan misalokasi anggaran publik yang serius.
" Dalam konteks NTT, perang terhadap korupsi dalam birokrasi sangat tidak memadai, jika kita hanya berpatokan pada pelaku korupsi yang telah ditetapkan sebagai pelaku tindak pidana korupsi secara hukum atau keputusan pengadilan dalam semua jenjang," ujarnya.
Sementara itu Pengamat Administrasi Hukum Tata Negara, Dr. John Tuba Helan,S.H,,M.H mengatakan, dalam UU ASN sudah jelas mengatur tentang konsekwesi bagi ASN yang terbukti korupsi. " Jadi untuk pemecatan itu tidak bisa langsung dilakukan ketika ASN itu dinyatakan korupsi, tetapi harus menunggu sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atau incrah," kata John.
Dia menjelaskan, ketika ASN terlibat korupsi dan ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik (polisi atau kejaksaan) dan ditahan maka, ada aturan untuk memotong gaji dari ASN. Sedangkan gajinya diterima sampai ketika putusan pengadilan incrah dan dipecat.
Terkait adanya upaya menutup-nutupi data ASN yang terlibat korupsi, John mengatakan, hal itu tidak zamannya lagi. " Saat ini sudah zaman digital dan semua pada sistem online, sehingga percuma kalau pemerintah menutupi. Selain itu , data ASN korupsi bisa diakses di Pengadilan Tipikor dan juga lewat website Menpan RB," katanya.(*).