Berita Kabupaten TTU Terkini
Setelah Tahu Aturan, Nus Berhenti Jadi Pengumpul Kayu Sonokeling
Setelah mengetahui ada aturan dalam pengurusan kayu sonokeling,Nus Barabosa memutuskan berhenti adi pengumpul kayu
Penulis: Thomas Mbenu Nulangi | Editor: Kanis Jehola
Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Tommy Mbenu Nulangi
POS-KUPANG.COM | KEFAMENANU - Salah satu pengumpul kayu sonokeling di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Nus Barabosa mengatakan, setelah mengetahui ada aturan yang sangat ketat dalam pengurusan terkait dengan kayu sonokeling, dirinya memutuskan untuk berhenti menjadi pengumpul kayu tersebut.
"Setelah tau dia punya aturan saya mulai berhenti dari bulan April 2018. Karena tau ada beberapa kejadian penangkapan kita sudah mulai takut dan tidak mau beli. Saya berhenti sudah beberapa bulan yang lalu," ungkap Nus kepada POS-KUPANG.COM, Sabtu (27/10/2018).
Menurut Nus, selain takut dengan aturan yang ada, juga karena dirinya merasa rugi menjadi pengumpul kayu sonokeling. Kerugian yang dialami terutama pada biaua operasional seperti makan, minum dan transportasi angkutan kayu.
Baca: Cerita Nus, Salah Seorang Pengumpul Kayu Sonokeling di TTU
"Kita kalau ambil di BGR sana, itu bisa tiga sampai empat hari, mahalnya dimakan. Ongkos mobil yang muat itu juga mahal. Mulai itu saya dengan anak-anak lain mulai berhenti. Kalau saya masih kerja berarti kami kena. Karena keluar hanya satu pintu saja," jelasnya.
Nus menceritakan, dirinya pernah pergi sampai ke dalam kawasan hutan BGR. Namun ditemukan kayu sonokeling yang masih muda ditebang dan dibuang begitu saja dijalan dan didalam kawasam hutan.
Baca: Eratkan Tali Persaudaraan, Prodi Pendidikan Matematika Undana Gelar Pensi
"Tapi terahir saya tidak beli kayu sonokelimg karena rata-rata kayu yang bagus sudah abis dari tahun lalu. dan itu di dalam kawasan huta. Kayu sonokeling dalam kawasan hutan sudah terlalu banyak yang dipotong," ungkapnya.
Saat masih menjadi pengumpul kayu sonokeling, jelas Nus,ia menyewa masyarakat disekitar kawasan hutan untuk memotong dan mengangkat kayu sonokeling ke tepi jalan. Setelah sampai di tepi jalan, baru diibayar upah para potong dan pengangkut kayu tersebut.
"Misalnya saya pembeli, saya pilih ada lima pohon, saya hitung satu pohon berapa, kamu mau potong saya bayar kamu sampai keluar di tempat ini. Kadang kita bayar yang potong sendiri dan angkut sendiri. Jadi ada juga masyarakat yang dibayar dua kali. Jadi kita bayar upah potong dan angkut," jelasnya.
Nus mengungkapkan, kebanyakan dirinya membeli kayu sonokeling di halaman rumah atau di kebun warga. Namun pada saat awal membeli, satu pohon dihargai Rp. 50 ribu saja. Karena pada saat itu masyarakat masih belum mengetahui nilai ekonomis kayu sonokeling.
"Setelah orang tau dia punya harga, ketika kita beli 50 ribu sudah tidak dapat lagi. Kadang dia sudah naik 500 ribu sampai dengan satu juta," ungkapnya.
Setelah membeli dan mengumpulkan kayu sonokeling dari masyatakat, lanjut Nus, dirinya menjual kayu tersebut kepada beberapa perusahaan kayu yang beroperask di Kabupaten TTU.
"Pokoknya saya jual di beberapa perusahaan yang beroperasi di TTU. Tapi saya sering saya jual di dua perusahaan seperti CV. Formula 17 dan CV. Inrichi," ungkapnya. (*)