Senasib dengan Cendana
TERNAK sapi masih menjadi komoditi perdagangan primadona dari Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Kabar terakhir, Gubernur NTT, Frans Lebu Raya, telah mengeluarkan surat keputusan (SK) menambah kuota pengeluaran ternak sapi potong keluar wilayah NTT, mencapai 8.000 ekor, termasuk 2.000 ekor sapi yang sempat tertahan di Balai Karantina Pertanian Kelas I Kupang. Pengiriman ternak ke luar daerah, bahkan diekspor dalam konteks perdagangan, tentu untuk peningkatan pendapatan daerah.
Artinya daerah diuntungkan dengan retribusi dan pendapatan lainnya. Namun yang perlu diwaspadai bahwa pengiriman sapi dalam jumlah banyak akan mengganggu populasi ternak jika tidak diimbangi dengan upaya pengembangan yang signifikan. Pengantarpulauan ternak memang menggiurkan, namun bahaya juga mengintai jika upaya itu tidak dikendalikan, mengancam populasi ternak.
Apalagi saat ini upaya pemerintah untuk meningkatkan populasi sapi di NTT belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Dihadang berbagai kendala, misalnya sumber daya manusia para peternak masih terbatas.
Dampaknya, peternakan sapi dilakukan secara alamiah dengan melepas di padang. Pemerintah tentu harus bersikap mengamankan populasi sapi yang ada saat ini. Data BPS tahun 2011 menunjukkan populasi sapi potong NTT mencapai 778,6 ribu ekor, sapi perah 32 ribu ekor dan kerbau 150 ribu ekor.
Sebagian besar populasi sapi potong NTT terdapat di Pulau Timor yaitu 533,7 ribu ekor atau 68,5 persen. Sisanya di Pulau Flores 132,4 ribu ekor (17,0 persen), Pulau Sumba 62,5 ribu ekor (8,0 persen) dan kepulauan lainnya (Alor, Lembata, Rote Ndao, dan Sabu Raijua) 50,1 ribu ekor.
Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, makin sempitnya lahan penggembalaan, peningkatan jumlah penyakit dan kematian hewan dan peningkatan kebutuhan daging dalam Propinsi NTT, sangat memungkinkan penurunan populasi sapi ini bakal berkelanjutan. Bahkan sapi di NTT bisa senasib dengan kayu cendana yang kini hanya tinggal kenangan. *