Oleh Don Ara Kian, ST, MT, IAI
Arsitek Bicara Arsitektur NTT
"O to realize space! The plenteousness of all. That there are no bounds. To emerge and be of the sky, of the sun and moon and flying clouds, as one with them..."
KUTIPAN Walt Whitman dalam Design of Cities, Edmund N. Bacon, merupakan pemberian tugas besar pada seorang arsitek. Namun tugas besar ini mustahil terwujud jikalau sang arsitek sendiri tidak mengembangkan kesadaran ruangnya melalui keterlibatan atas keberadaanya secara utuh. Kesadaran akan ruang berada jauh dari kegiatan pemikiran. Kesadaran itu berkaitan dengan kesan-kesan, serta perasaan yang sangat luas liputannya, yang membutuhkan keterlibatan masing-masing secara menyeluruh agar sejauh mungkin dapat menghasilkan sebuah respon secara penuh pula.
Diskusi tentang arsitektur tidak dapat dipisahkan dari semesta pembicaraan mengenai bentuk, ruang dan waktu. Bentuk dalam arsitektur merupakan perwujudan dari masa dan ruang. Jika hubungan filosofi antara kedua elemen tersebut tidak jelas, maka bentuk arsitektur juga menjadi tidak jelas. Demikian pula dengan ruang dan waktu, salah satu tujuan utama arsitektur adalah meningkatkan drama kehidupan. Oleh karena itu arsitektur harus memberi ruang-ruang yang beraneka ragam untuk kegiatan-kegiatan yang berbeda pula dan harus memperkaya ruang-ruang dari kegiatan kehidupan tertentu yang berlangsung di dalamnya dapat diperkuat.
Kesadaran akan makna substansi dalam berarsitektur inilah yang telah membangkitkan gairah Jurusan Arsitektur Unwira Kupang untuk ikut memberikan warna dalam mosaik arsitektur nusantara. Kesadaran ini lahir dari para arsitek senior yang menyelesaikan tugas belajar di dalam negeri maupun di luar negeri yang kemudian mengabdikan ilmu pengetahuannya pada masyarakat NTT melalui lembaga perguruan tinggi. Perguruan tinggi pertama yang meletakkan dasar-dasar berkembangnya ilmu pengetahuan arsitektur di Nusa Tenggara Timur adalah Universitas Katolik Widya Mandira Kupang sejak tahun 1982.
Kehadiran lembaga arsitektur dan para arsitek senior seperti Ir. Ign. Herliyatno, MT, Joseph Oenarto, dipl. eng, Ir. Adi Darmawan, Ir. Abraham Paul Liyanto, saat itu dan kini dilanjutkan oleh generasi baru Arsitek Produksi Jurusan Arsitektur Unwira seperti Ir. Dady Malelak, Ir. Robertus M. Raya Wulan, MT, Ir. Benyamin Sam Pandie, Ir. Philipus Jeraman, MT, Ir. Richardus Daton, MT, Ir. Vitalis Nenobais (dan masih banyak lagi) tidak dapat dipisahkan dari semangat, spirit dan moralitas pengabdian kepada masyarakat NTT. Spirit dan moralitas ini adalah kerja keras, optimisme dan kesediaan diri secara ikhlas untuk memberikan lebih dari kewajibannya dan menerima kurang dari hak-haknya. Disertai dengan keyakinan bahwa pemberian yang lebih dan penerimaan yang kurang tersebut dijadikan investasi kemasyarakatan yang pada saatnya akan memperoleh mafaat yang lebih.
Kebutuhan insinyur pembangunan dan revolusi informasi serta komunikasi melatarbelakangi keberadaan lembaga arsitektur di Nusa Tenggara Timur. Kondisi ini sungguh sangat disadari oleh Jurusan Arsitektur Unwira sehingga dengan kerja keras dan didorong oleh semangat untuk membangun NTT, maka buah dari kerja keras itu adalah sepuluh tahun kemudian, tepatnya tahun 1992, lahirlah Insinyur Arsitek untuk pertama kalinya, insinyur di zaman kemerdekaan produksi asli Nusa Tenggara Timur. Hal ini tentu menjadi kebanggaan bagi semua warga masyarakat NTT. Alumni NTT yang hadir di daerah NTT dan benar-benar berada di tengah masyarakat NTT dalam berbagai profesi. Kiprah alumni ini menjadi kebanggaan dan mengharumkan nama NTT. Namun disadari pula bahwa masuknya rekan-rekan arsitek dari luar NTT dalam pembangunan di NTT telah menambah khasana berarsitektur di daerah ini.
Spirit arsitek NTT
Nusa Tenggara Timur memiliki kekayaan arsitektur vernakular (=arsitektur kerakyatan= volk architecture) yang sangat khas dan dapat dijadikan sebagai 'arsitektur sumber' serta dapat dimanfaatkan dalam rangka mengembangkan arsitektur masa kini yang berjati diri Nusa Tenggara Timur.
Dalam semangat (spirit) mengembangkan budaya lokal (salah satu program Pemerintah NTT), maka potensi dan peluang pengembangan arsitektur lokal sangat dimungkinkan, karena di Nusa Tenggara Timur terdapat setidaknya sepuluh ragam arsitektur vernakular yang menyebar di Pulau Timor (arsitektur Belu dan Atoni), Pulau Rote (arsitektur Rote), Pulau Sabu (arsitektur Sabu), Pulau Sumba (arsitektur Sumba), Pulau Flores dan Lembata (arsitektur Manggarai, Ngada, Ende-Lio, dan Lamaholot) serta Pulau Alor (arsitektur Alor).
Keanekaragaman arsitektur vernakular ini merupakan suatu berkah dan karunia yang tiada taranya bila dibandingkan dengan arsitektur vernakular yang terdapat di propinsi lainnya di Indonesia. Kenyataan ini sekaligus menunjukkan bahwa arsitektur vernakular dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi dalam berasitektur sekaligus sebagai pedoman dalam perancangan arsitektur masa kini di NTT dengan sangat kaya dan beragam. Andaikata kesepuluh ragam arsitektur vernakular ini dapat dimanfaatkan dalam perancangan arsitektur masa kini, maka arsitek di NTT memiliki sepuluh pilihan atau alternatif yang bersumber pada arsitektur vernakular tersebut. Artinya para arsitek di NTT memiliki potensi untuk menghasilkan minimal sepuluh alternatif rancangan arsitektur yang beridentitas lokalitas NTT.
Arsitek bicara arsitektur NTT
Keakraban dengan potensi dan sumber daya yang dimiliki NTT ini semestinya mendorong dikembangkannya teknologi berbasis sumber daya (resources based technology). Penguasaan ilmu, teknologi baru, teknologi masa depan tetap harus menjadi perhatian dengan tetap mengaitkannya dengan sumberdaya yang dimiliki. Dengan cara ini para arsitek NTT bukan saja mampu memberikan kontribusi keilmuan, tetapi juga solusi alternatif persoalan dan pembangunan, serta sebagai sumber inspirasi bangsa pada umumnya dan NTT pada khususnya. Dengan demikian para arsitek lokal diharapkan tumbuh subur dengan memiliki otoritas keilmuan yang handal. Generasi yang memiliki pola pikir yang obyektif dan terbuka (open mainded). Obyektif dalam makna sesuai dengan nalar rasional dan terbuka dalam makna yang dapat diuji oleh siapapun dan terbuka untuk menerima pikiran-pikiran baru yang lebih tepat.
Charles Kenks (1964) dalam Karya Arsitek Indonesia (2003), mengemukakan bahwa dalam setiap periode sejarah arsitektur di suatu tempat selalu terdapat dua jenis kepeloporan karya arsitektur. Pertama adalah karya-karya yang menjadi pemicu pergerakan dalam perancangan arsitektur atau yang biasa disebut the influentials. Kedua adalah serangkaian penyempurnaan karya arsitektur yang dilakukan oleh arsitek bersangkutan secara terus menerus sampai dirinya puas dengan usaha tersebut. Karya tersebut disebut the perfected. Kedua jenis karya arsitektur ini mengandung unsur kepeloporan meskipun para pelaku dan maksud serta tujuan berbeda.
Karya arsitek jenis influential pada umunya dilakukan oleh sejumlah arsitek dalam rentang waktu yang sama di beberapa tempat yang berbeda. Kumpulan karya tersebut selanjutnya menjadi model ideal para arsitek sezaman ketika menjalani profesinya sebagai perancang bangunan gedung dan lingkungan binaan. Sementara karya arsitektur jenis perfected berkaitan dengan keasyikan seorang arsitek mencari sesuatu yang ingin diketahuinya dan dia baru berhenti setelah merasa telah menemukan apa yang di carinya. Rangkaian karya-karya arsitekturnya biasanya berperan sebagai pelopor dalam perancangan baru dan penciptaan tipe gedung atau lingkungan binaan baru dalam periode bersangkutan.
Para pelopor karya arsitektur Indonesia antara lain Arsitek F. Silaban, IAI, (almahrum) Arsitek Robi Sularto, IAI, (almarhum) Arsitek YB Mangunwijaya, dan Arsitek Ahmad Noe'man, IAI. (Almarhum) F Silaban, IAI adalah pelopor dalam pencarian ekspresi karya arsitektur modern yang beradaptasi dengan iklim tropis lembab di Indonesia. Sedangkan (almarhum) Robi Sularto, IAI adalah pelopor penggalian nilai-nilai tradisi dalam bangunan gedung asli Indonesia untuk diterapkan kembali dalam bangunan gedung modern. Beberapa karya (almarhum) Robi Sularto di NTT adalah Gedung Kantor Gubernur NTT, Gedung Kantor DPRD NTT).
Dengan demikian pertanyaan/permasalahan hari ini adalah apa yang terjadi dengan arsitektur dan arsitek di NTT? Lantas seperti apa wajah arsitektur NTT? Temukan jawaban ini dalam Temu Karya Ilmiah Mahasiswa Arsitektur Indonesia XXV di Unwira Kupang.
Pada hakekatnya pencarian jati diri (identitas) dalam disiplin arsitektur bukanlah mencari bentuk prototipe kedaerahan, untuk kemudian mandek sesudah 'ditemukan'. Identitas adalah target yang selalu berubah sejalan dengan perubahan waktu dan masyarakatnya, sebagai suatu proses kultural yang tidak bisa difabrikasikan, apalagi secara massal. Ungkapan identitas arsitektur lebih terwujud sebagai cerminan kreatif arsitek dalam mengejawantahkan tuntutan, dambaan dan perilaku budaya masyarakat. Jadi bukan sekadar menyuguhkan produk atau artefak budaya yang identik seragam untuk sepanjang waktu.
Arsitektur adalah simbol budaya. Keanekaragamannya menjadikan bangsa ini menjadi lebih kuat. Dan oleh karena berarsitektur merupakan sarana transformasi sosial sekaligus infrastruktur budaya paling penting bagi sebuah bangsa dalam upayanya meningkatkan kualitas hidup, maka maju terus arsitektur Indonesia, maju terus arsitektur NTT. *
Urban Designer & Arhitec, staf pengajar pada Jurusan Arsitektur UNWIRA Kupang