NTT Terkini
Akademisi Sarankan Pemerintah Bangun Klinik Sekolah Atasi Rendahnya Kualitas Pendidikan
Ia juga mengkritisi pandangan yang menyebut lemahnya literasi di NTT dipengaruhi rendahnya kesejahteraan guru.
Penulis: Irfan Hoi | Editor: Oby Lewanmeru
Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Irfan Hoi
POS-KUPANG.COM, KUPANG - Akademisi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Nusa Cendana (Undana), Dr. Marsel Robot menyarankan Pemerintah agar membentuk Klinik Sekolah untuk mengatasi rendahnya kualitas pendidikan di NTT.
Marsel menyebut persoalan literasi adalah hal dasar pelajar. Kondisi yang memperlihatkan kualitas pendidikan lemah, merupakan masalah serius yang harus ditangani dengan sistem khusus di sekolah.
Menurutnya, lemahnya budaya membaca sudah terlihat sejak pendidikan dasar. Banyak siswa naik kelas meskipun belum mampu membaca, sehingga masalah itu terbawa hingga tingkat SMA bahkan perguruan tinggi.
“Membaca adalah pintu semua ilmu. Kalau siswa tidak bisa membaca, bagaimana mungkin mereka bisa memahami matematika, biologi, sejarah, dan pelajaran lainnya,” ujarnya, Rabu (24/9/2025).
Marsel mendorong agar sekolah memiliki program khusus yang ia sebut “klinik sekolah”. Program ini berfungsi sebagai ruang pembelajaran tambahan untuk membantu siswa yang belum menguasai literasi dasar seperti membaca dan berhitung.
Baca juga: Akademisi Undana Marsel Robot Ragu Alokasi 20 Persen untuk Pendidikan di NTT Dipenuhi Pemerintah
Klinik sekolah, kata dia, bisa dijalankan dengan memanfaatkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) agar guru yang terlibat mendapat insentif tambahan.
Selain itu, ia menekankan pentingnya membangun ekosistem literatif di sekolah. Salah satunya dengan mengganti hukuman disiplin tradisional menjadi tindakan literatif. Misalnya, siswa yang terlambat diminta menuliskan alasan keterlambatannya lalu membacakannya di depan kelas.
“Tindakan literatif bisa melatih kemampuan menulis, berpikir, sekaligus berbicara. Jadi hukuman berubah menjadi sarana belajar. Makanya bisa ada Klinik Sekolah itu,” katanya.
Ia juga mengkritisi pandangan yang menyebut lemahnya literasi di NTT dipengaruhi rendahnya kesejahteraan guru.
Menurutnya, persoalan utama justru terletak pada metode pembelajaran dan komitmen guru.
“Mengajarkan membaca itu bukan soal gaji. Guru tetap punya kewajiban mendidik siswa agar bisa membaca, meskipun anggaran pendidikan di NTT memang masih rendah,” tegasnya.
Marsel juga menilai peningkatan kapasitas guru sangat penting untuk memperbaiki mutu pendidikan. Guru, kata dia, seharusnya rutin mendapatkan pelatihan setiap enam bulan atau satu tahun agar selalu diperbarui pengetahuannya.
“Masa baterai handphone saja bisa diisi ulang, sementara guru tidak pernah ‘di-charge’ ilmunya? Ini yang membuat metode mengajar stagnan,” katanya.
Ia mencontohkan sekolah-sekolah berasrama seperti seminari yang berhasil membudayakan membaca melalui iklim belajar yang ketat.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.