NTT Terkini
Warga Audiensi dengan Kejati NTT Bahas Dugaan Korupsi Tunjangan DPRD Kota Kupang
Ia menegaskan, Undang-Undang Tipikor pasal 4 sudah jelas menyatakan pengembalian kerugian negara tidak menghapus pidana.
Penulis: Irfan Hoi | Editor: Oby Lewanmeru
Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Irfan Hoi
POS-KUPANG.COM, KUPANG - Sejumlah warga di Kota Kupang melakukan audiensi dengan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTT Zet Tadung Alo, Senin (22/9/2025) di Kantor Kejaksaan Tinggi NTT.
Stefanus Mira Mangngi perwakilan Masyarakat Pelapor menjelaskan, pertemuan itu membahas tentang kasus dugaan korupsi tunjangan perumahan, transportasi dan natura dan pakan natura tahun anggaran 2022 dan 2023 oleh pimpinan dan anggota DPRD Kota Kupang periode 2019-2024.
"Kita ada dalam pemahaman yang sama, antara kami sebagai pelapor dan Kejaksaan. Bahkan itu ada hasil audit BPK, namun ada perbedaan," kata Stefanus, ditemui usai pertemuan.
Perbedaan itu oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bahwa hanya terjadi kelebihan pembayaran pada tunjangan perumahan. Sementara tunjangan transportasi, natura dan pakan natura tidak terjadi persoalan hukum.
Hal itu menjadi perbedaan pandangan. Stefanus menyebut pihaknya memiliki dasar hukum kuat tentang hal itu seperti dalam Permendagri 62 tahun 2017 pasal 8 ayat 2 huruf A dan B, tentang tunjangan natura dan pakan natura.
Baca juga: BREAKING NEWS: Kejati NTT Geledah Kantor Dinkes Malaka Terkait Dugaan Korupsi Proyek RSP Wewiku
"Itu melampaui pasal ini untuk ketua dan wakil ketua DPRD. Diatur bahwa untuk ketua DPRD itu empat kali uang representasi dan wakil ketua dua setengah kali uang representasi," ujarnya.
Uang representasi, kata dia, untuk Ketua DPRD Kota Kupang setara dengan gaji pokok Wali Kota. Sedangkan, Wakil Ketua DPRD setara 80 gaji pokok Wali Kota. Berkaca dari itu, tunjangan untuk Ketua dan Wakil Ketua mencapai Rp 64 juta.
Selain itu, dalam tunjangan transportasi, menurut Stefanus tidak sesuai dengan dengan standar biaya umum maupun Peraturan Menteri Keuangan tentang standar biaya masukan tahun anggaran 2022–2023.
Ia menyebut, berdasarkan aturan, tunjangan transportasi untuk anggota DPRD yang disetarakan dengan eselon II paling tinggi Rp 14,85 juta per bulan.
Namun, dalam praktiknya, tunjangan transportasi anggota DPRD Kota Kupang ditetapkan hingga Rp 17 juta bahkan Rp 21 juta per bulan.
“Kalau mengacu pasal 17 PP Nomor 18 Tahun 2017, jelas tunjangan harus berdasarkan asas kepatutan, kewajaran, rasionalitas, dan standar harga setempat. Sementara data pemerintah Kota Kupang sendiri menunjukkan biaya sewa kendaraan jenis Innova 2000 cc hanya sekitar Rp9 juta per bulan. Jadi angka Rp21 juta itu jelas tidak rasional,” ujar Stefanus.
Ia juga menyinggung soal besaran tunjangan natura dan pakan natura. Berdasarkan hitungan pihaknya, Ketua DPRD Kota Kupang menerima hingga Rp 70 juta, sedangkan Wakil Ketua Rp 64 juta per bulan. Padahal, menurut aturan, besaran itu semestinya tidak lebih dari Rp 20 juta untuk Ketua DPRD.
Dalam audiensi, pihak Kejaksaan Tinggi NTT mengakui adanya potensi kerugian negara. Namun, menurut Stefanus, Kejati lebih menitikberatkan pada hasil audit Inspektorat yang hanya menemukan kelebihan pembayaran Rp1,8 miliar pada tunjangan perumahan.
“Sejak awal penanganan kasus ini itu hasil kajian Kejaksaan itu kerugian potensi, kerugian negara itu 5,6 Miliar, nah dari situ itu kami tidak bersepakat," katanya.
Stefanus menilai alasan Kejati NTT yang mempertimbangkan jumlah jaksa terbatas, biaya perkara, hingga potensi terganggunya pelayanan publik bila semua anggota DPRD diperiksa, sebagai alasan yang tidak sesuai hukum.
Ia menegaskan, Undang-Undang Tipikor pasal 4 sudah jelas menyatakan pengembalian kerugian negara tidak menghapus pidana.
“Kami menyesalkan sikap Kejati. Pertimbangan semacam itu justru melecehkan semangat pemberantasan korupsi. Ini sikap resmi kelembagaan dari Kejati, disampaikan langsung,” kata Stefanus.
Meski berbeda pandangan, kedua pihak sepakat menghargai posisi masing-masing. Namun, warga pelapor akan menindaklanjuti kasus ini dengan tiga langkah. Pertama, melaporkan proses penanganan kasus oleh Kejati NTT ke Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan serta Komisi Kejaksaan.
Kedua, menjalin komunikasi dengan lembaga antikorupsi seperti Transparency International Indonesia, ICW, dan YLBHI untuk pendampingan hukum. Ketiga, mempertimbangkan melaporkan kasus ini ke KPK maupun Polda NTT.
“Kami tidak ingin saluran hukum diabaikan. Jangan sampai rakyat tiba pada kesimpulan bahwa jalur keadilan tersumbat, lalu mengambil cara mereka sendiri, seperti pengadilan jalanan. Itu yang kami ingatkan kepada Kejati,” ujar Stefanus.
Terpisah, Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati NTT Raka Putra Dharmana belum menjawab permintaan wawancara terkait dengan audiensi maupun alasan Kejati NTT tentang penanganan kasus ini.
"Saya lapor pimpinan dulu ya," tulisnya singkat. (fan)
Ikuti Berita POS-KUPANG.COM Lainnya di GOOGLE NEWS
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.