Renungan Harian Katolik

Renungan Harian Katolik Senin 20 Oktober 2025, "Hidup Tak Tergantung pada Kekayaan"

Kalaupun ia berhenti, ia ingin menikmatinya bagi diri sendiri, seolah-olah itulah yang menjadi tujuan hidupnya, seperti disampaikan Yesus

Editor: Eflin Rote
Dok. POS-KUPANG.COM
RENUNGAN - RP. John Lewar SVD menyampaikan Renungan Harian Katolik 

Renungan Harian Katolik Suara Pagi
Bersama Pastor John Lewar SVD
Biara Soverdi St. Yosef Freinademetz
STM Nenuk Atambua Timor – NTT
Senin, 20 Oktober 2025
Hari biasa Pekan XXIX
Rm. 4:20-25; MT Luk. 1:69-70,71-72,73-75; Luk. 12: 13-21
Warna Liturgi Hijau

Hidup Tak Tergantung pada Kekayaan

Dalam injil Lukas (12: 13-21) hari ini, Yesus mengingatkan bahwa walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung pada kekayaannya itu (Luk 12:15b).

Apakah kita ini termasuk orang yang tamak, atau loba atau serakah akan harta? Kata tamak artinya selalu ingin beroleh banyak (harta, dan sebagainya) untuk diri sendiri. Tamak adalah sifat yang bisa melekat pada sebagian orang di dunia ini dan sifat ini berbahaya bagi hidup manusia.

Itulah sebabnya, kepada orang banyak Yesus berkata, Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan!

Sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung pada kekayaannya itu (Luk 12:15).

Ketamakan itu berbahaya. Oleh karena itu, Yesus minta agar waspada terhadapnya. Ketamakan membuat orang ingin memperoleh harta sebanyakbanyaknya. Sekalipun ia telah memiliki harta yang banyak, ia tidak pernah berhenti mencari dan mencari dan mencarinya.

Kalaupun ia berhenti, ia ingin menikmatinya bagi diri sendiri, seolah-olah itulah yang menjadi tujuan hidupnya, seperti disampaikan Yesus dalam perumpamaan Injil hari ini (ay. 16-21).

Santo Yohanes Maria Viani (1786-1859) mengatakan cukup keras bahwa seorang yang tamak itu seperti seekor babi yang mencari makanannya dalam lumpur. Ia tidak peduli dari mana makanan itu berasal. Ia membungkuk ke tanah dan menyosor (memakan) semua makanan sampai habis.

Demikianlah seorang yang tamak. Ia hanya memikirkan diri sendiri, perutnya sendiri. Ia tidak sempat memikirkan bahkan keselamatan jiwanya. Ia terus bekerja dan bekerja demi harta hingga tidak punya waktu untuk berdoa dan merayakan Misa.

Tepatlah jika Santo Yohanes Maria Viani mengatakan bahwa seorang yang tamak tidak lagi memandang ke surga, karena kebahagiaannya sudah tidak lagi di sana. Kebahagiaannya ditemukan dalam harta. Jika harta hilang, kebahagiaan pun melayang.

Seorang yang tamak tidak melakukan sesuatu pun yang baik bagi keselamatan jiwanya, bahkan sampai di akhir hidupnya.

“Lihatlah, betapa rakus ia mengumpulkan harta kekayaan, betapa dengan penuh hasrat ia menyimpannya dan betapa berdukanya apabila ia kehilangan hartanya,” kata Santo Yohanes Maria Viani. Bagi orang yang rakus, tamak, loba atau serakah, ia tidak rela kehilangan hartanya.

Ia tidak rela jika diminta untuk berbagi dengan sesamanya. Jika memberi pun tidak menunjuk-kan bahwa ia adalah seorang yang murah hati dan mau berbagi dengan kasih nan murni. Ia tetap saja menunjukkan sifat kikir, karena orientasi hidupnya adalah menjadi kaya bagi diri sendiri atau bagi keluarganya.

Lantas apakah menjadi kaya bagi keluarganya adalah suatu usaha yang dilarang? Tidak. Tidak pernah ada hukum atau larangan untuk menjadi kaya. 

Yesus hanya mengingatkan bahwa walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung pada kekayaannya itu (Luk 12:15b).

Makanya, pemazmur bani Korah juga mengingatkan, Janganlah takut, apabila seseorang menjadi kaya, apabila kemuliaan keluarganya bertambah, sebab pada waktu matinya semuanya itu tidak akan dibawanya serta, kemuliaannya tidak akan turun mengikuti dia (Mzm 49:17-18).

Kalau demikian apa yang mesti menjadi kunci atau pegangan hidup di zaman konsumerisme ini? Sebab, bagaimana pun juga, yang namanya harta itu tetap merupakan sarana yang dibutuhkan dalam hidup ini. Ada kunci ganda: Pertama, “Apabila harta makin bertambah, janganlah hatimu melekat padanya” (Mzm 62:11).

Sebab, pada waktu mati tidak akan dibawanya serta. Kedua, hidup tidaklah tergantung pada kekayaan duniawi. Oleh sebab itu, “Jadilah kaya di hadapan Allah,” kata Yesus. Bagaimana caranya?

Bagaimana menjadi kaya di hadapan Allah? Menurut St. Vinsensius de Paul, ada 5 jalan menjadi orang kaya di hadapan Allah yaitu kesederhanaan-rendah hatikelembutan hati-mati raga-semangat berkarya kasih.

Kesederhanaan berarti hidup dengan tidak menonjolkan kelebihan kita, tidak megharapkan pujian dari orang lain dan setulus hati mengikuti arahan Tuhan. Rendah hati berarti menyadari diri bahwa sebenarnya segala hal yang ada pada diri kita adalah milik Tuhan.

Kelembutan hati maksudnya sabar dan lembut dalam bersikap kepada orang lain. Mati raga yaitu tidak melekat terhadap apa yang kita cintai. Terakhir, karya kasih adalah puncak dari jalan menuju keselamatan.

Dengan kata lain, caranya, ialah banyak berbuat baik. Sebab, orang yang sudah mati namun sewaktu hidup rajin berbuat baik, ia akan keluar dan bangkit untuk hidup yang kekal (Yoh 5:28). Dalam hidup yang kekal, ia akan menikmati kebahagiaan sejati sebab ia telah berhasil menjadi kaya di hadapan Allah(diolah dari https://mkk.or.id/renungan-detail.php?r=2077457760)

Doa: Tuhan, aku sering kali mementingkan keinginan duniawi daripada kehendak-Mu. Bantulah dan kuatkanlah aku agar memiliki kepedulian terhadap sesama serta mengutamakan kehendak-Mu. Amin.

Sahabatku yang terkasih, Selamat hari Senin. Selamat beraktivitas. Salam doa dan berkatku untukmu dan keluarga di mana saja berada: Dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus....Amin. (Pastor John Lewar SVD)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved