Opini

Opini - Internet dan AI, Empat Strategic Initiative Memperkuat Pers Indonesia

Karena disrupsi internet dan artificial intelligence (AI), setidaknya ada empat strategic initiative untuk membangun pers yang sehat.

|
Editor: Alfons Nedabang
POS-KUPANG.COM/HO
DAHLAN DAHI - Chief Executive Officer (CEO) Tribun Network, Dahlan Dahi, dalam Forum Diskusi Media dengan tema "AI dan Keberlanjutan Media" di Grand Sahid Jaya Hotel, Jakarta, Senin (29/1/2024). Terbaru, Ketua Komisi Digital dan Sustainability Dewan Pers ini menulis opini tentang Internet dan AI, Empat Strategic Initiative Memperkuat Pers Indonesia. 

Satu aspek penting yang perlu diperhatikan dalam fungsi AI sebagai platform distribusi: AI tidak hanya me-retrieve (menarik) berita, seperti para era search dan feed di internet, tapi juga memiliki kemampuan memutuskan sendiri. AI can make a decision.

AI memiliki kapabilitas memformulasikan kalimat baru. Dengan kata lain, AI memiliki kemampuan memproduksi informasi baru. Dia juga membentuk pendapat publik, karena itu memiliki kemampuan membangun collective imagination.

Artinya, dengan AI, pendapat publik dibentuk tidak hanya oleh human journalist dan human non-journalist tapi juga oleh mesin AI.

Saat ini, kita hidup dalam satu dunia di mana ada tiga aktor yang memiliki kemampuan memproduksi informasi dan membentuk pendapat publik: jurnalis, warga non-jurnalis, dan artificial intelligence.

Dua yang pertama hasil kerja human intelligence, sedangkan yang kedua adalah machine intelligence. Interaksi ketiga aktor itu mempengaruhi apa yang kita lihat, membentuk dan memberi meaning atas realitas, dan membangun collective imagination.

Pertanyaannya, bagaimana memperkuat pers?

Strategic Initiative

Istilah ini sering dipakai oleh perusahaan, merujuk pada rencana yang bersifat action-oriented, measureable dan long term vision. Ini merupakan kombinasi antara profitabilitas (satu tahun) dan sustainabilitas (lebih dari satu tahun).

Berdasarkan pemahaman pada masalah strategis pers Indonesia akibat internet dan AI, seperti diuraikan di atas, saya melihat ada empat strategic initiative:

1. Business Model

Pers Indonesia perlu mengoptimalkan business model saat ini, yakni advertising. Pekerjaan ini tentu tidak mudah. Bagaimana, pada saat yang sama, mengoptimalkan advertising business model sekaligus mengelola disrupsi yang sedang berlangsung.

Industri pers sedang menghadapi tiga goncangan sekaligus: kondisi ekonomi, disrupsi internet dan AI, serta pemotongan anggaran pemerintah. Jika tiga faktor itu membaik, atau salah satunya membaik, diyakini advertising masih merupakan pilar utama business model pers.

Kedua, mengeksplorasi business model baru: subscription, komisi, marjin, dan lain-lain. Di Indonesia, subscription business model sudah dijalankan sejumlah kecil perusahaan tapi memang butuh waktu untuk menggantungkan pembiayaan jurnalisme berkualitas dari sumber pendapatan ini.

Optimalisasi business model dan eksplorasi business model memiliki tantangan yang berbeda. Pada optimalisasi, yang dikelola adalah declining, penurunan.

Tantangannya terletak pada bagaimana menyesuaikan biaya dengan pendapatan. Sedangkan pada eksplorasi, yang dikelola adalah high risk, risiko tinggi.

Selain itu, eksplorasi juga membutuhkan resources yang baru, investasi baru, baik berupa orang maupun peralatan atau teknologi serta biaya operasional. Yang tidak kalah penting: eksplorasi membutuhkan waktu untuk sampai ke suatu titik di mana eksplorasi itu berhasil –atau malah gagal total.

Melihat situasi itu, saya melihat Dana Jurnalisme Indonesia –yang sedang diinisiasi Dewan Pers– sebagai salah satu solusi. Ide dasar dari Dana Jurnalisme Indonesia adalah mengalirkan pendanaan baru kepada industri pers yang sedang mengalami saturasi. Sumber dananya dari negara, swasta, dan sumber pendanaan luar negeri.

Pendanaan itu bisa digunakan untuk membangun kapasitas organisasi perusahaan pers, jurnalis, dan karyawan perusahaan pers.

Dana jurnalisme juga bisa digunakan untuk membiayai karya jurnalistik yang penting bagi masyarakat tapi kurang ter-discover dengan baik di platform karena “kurang heboh”, seperti menanamkan nilai-nilai demokrasi, pluralisme, inklusi, toleransi, dan bahkan, semangat entrepreneurship. 

Berita seperti demokrasi, pluralisme, dan toleransi sangat penting bagi masyarakat tapi tidak menarik bagi pengguna platform. Karena kurang memiliki klik dan user engagement yang tinggi, berita-berita seperti itu tenggelam di platform. Pers, karena itu, kurang mendapatkan insentif atau dorongan untuk memproduksi berita-berita penting tersebut.

Dana Jurnalisme Indonesia diharapkan memberikan sistem insentif bagi berita yang penting tapi tidak menarik demi membangun collective imagination yang berfungsi publik, misalnya merawat Bhineka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2. ⁠ Praktek Monopoli

Saya bukan ahli hukum. Sebagai orang pers, saya memahami pentingnya bantuan regulasi untuk memperkuat pers. Saya melihat bahwa keunggulan perusahaan teknologi atau platform berpotensi mendorong terjadinya pemusatan kekuatan ekonomi –yang pada akhirnya berpotensi merugikan publik dan mengancam sendi-sendi dasar kehidupan demokrasi.

Menurut UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. 

Praktek monopoli tersebut berdampak buruk bagi masyarakat karena “... satu atau lebih pelaku usaha … dapat menentukan harga barang dan atau jasa.”

Praktek monopoli menimbulkan persaingan usaha tidak sehat. UU No 5 merumuskan: persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.

Setidaknya ada tiga area yang potensial masuk ranah praktek monopoli di industri pers dalam kaitannya dengan platform. 

a. Distribusi berita

Kondisi di mana satu atau lebih kelompok usaha memonopoli distribusi berita, baik dari sisi jumlah pembaca yang dikuasai maupun kemampuan teknologi untuk menentukan berita apa yang didistribusikan kepada pembaca/pemirsa/penonton dan mana yang “disembunyikan”.

b. Teknologi Advertising

Platform mengendalikan advertising, termasuk menentukan harga iklan, terkadang secara sepihak, karena menguasai teknologi advertising, baik dari sisi supply (pers/publisher) maupun dari sisi demand (pemasang iklan). Teknologi dari sisi supply disebut Supply Side Platform (SSP), sedang teknologi dari sisi demand disebut Demand Side Platform (DSP).

c. Kue Iklan

Kue iklan terkonsentrasi kepada platform tertentu berpotensi melahirkan praktek monopoli, yang merugikan publisher maupun advertiser.

Ketiga area tersebut selayaknya terus dimonitor dan diawasi. Praktek monopoli adalah isu yang sedang dan akan terjadi.
 
3. Copyright

UU No 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta, pasal 43, menyebutkan:

Perbuatan yang tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta meliputi (poin c):  pengambilan berita aktual, baik seluruhnya maupun sebagian dari kantor berita, Lembaga Penyiaran, dan surat kabar atau sumber sejenis lainnya dengan ketentuan sumbernya harus disebutkan secara lengkap.

Pasal tersebut kurang memberikan perlindungan pada karya jurnalistik berbentuk teks, termasuk jika digunakan oleh perusahaan AI untuk training maupun distribusi berita. Kewajiban platform hanya mencantumkan sumbernya secara lengkap.

Karya jurnalistik perusahaan pers yang beritanya dikutip dan didistribusikan oleh platform berupa cuplikan isi berita dan judul berita, termasuk foto, tidak terlindungi oleh UU secara memadai. Kewajiban platform hanya mencantumkan sumbernya, tanpa perlu memberi hak ekonomi kepada publisher sebagai pemilik berita.

Penjelasan pasal 18 belum mengenal website dan aplikasi (apps) berita. Juga belum mengenal penggunaan berita sebagai raw material untuk training AI serta distribusi berita melalui platform AI. Pasal itu hanya mengenal surat kabar: Yang dimaksud dengan "hasil karya tulis lainnya" antara Iain naskah kumpulan puisi, kamus umum, dan Harian umum surat kabar.

4. Training

AI mengubah proses kerja (business process). Jurnalis dan karyawan perusahaan pers perlu segera memiliki keterampilan menggunakan AI untuk meningkatkan produktivitas.

Peningkatan produktivitas bisa diukur dengan, setidaknya, dua cara: menghemat waktu (time-saving) dan menghemat biaya (cost-saving).

Pelatihan AI bersifat praktis, how to, seperti bagaimana jurnalis memanfaatkan AI untuk, misalnya, mengolah bahan berita berbasis teks menjadi video atau sebaliknya.

Bagi tenaga marketing, pelatihan praktis bisa berupa bagaimana menggunakan AI untuk membuat proposal, sejak dari memahami brief klien, mendapatkan insight, hingga menyusun dek presentasi.

Pelatihan AI tidak hanya meningkatkan kemampuan karyawan perusahaan pers tapi juga membantu organisasi perusahaan pers menjadi lebih adaptif, lebih efisien, dan lebih produktif.

Pelatihan adalah pendekatan yang menegaskan pengakuan pada dampak positif teknologi, termasuk internet dan AI. Ini berarti juga bahwa pers harus adaptif, menyesuaikan diri dengan perubahan.

Sementara itu, optimalisasi dan eksplorasi business model serta aspek regulasi (praktek monopoli dan copyrights) merupakan usaha mengatasi dampak kerusakan yang dibawa teknologi ke industri pers.

Akhirnya, secara bersama-sama, komunitas pers dan pemangku kepentingan, termasuk masyarakat dan negara, perlu segera mengambil initiative strategic untuk menyelamatkan institusi pers dari spiral kehancuran.

Saya meyakini, hancurnya pers adalah runtuhnya salah satu pilar penting peradaban umat manusia yang kita warisi dan nikmati hari ini. (*)

*Artikel ini merupakan pendapat pribadi.

Ikuti berita POS-KUPANG.COM lain di GOOGLE NEWS

 

Sumber: Tribunnews
Halaman 4 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved