Opini
Opini - Internet dan AI, Empat Strategic Initiative Memperkuat Pers Indonesia
Karena disrupsi internet dan artificial intelligence (AI), setidaknya ada empat strategic initiative untuk membangun pers yang sehat.
Selanjutnya, setelah pembaca dikuasai platform, keruntuhan berikutnya adalah bisnis iklan. Platform kemudian menguasai iklan, bertindak sebagai agensi, dengan menyediakan teknologi yang menghubungkan pemasang iklan dengan inventory milik publisher.
Platform mengendalikan harga iklan —sesuatu yang mungkin, juga karena ada unsur monopoli.
Bukan cuma sebagai agensi, platform juga mencari iklan langsung kepada pemasang iklan. Kemudian, inilah yang terjadi: Secara kolektif, dua platform besar, Google dan Meta, menguasai 75 persen kue iklan digital nasional. Sementara puluhan ribu perusahaan pers berlomba-lomba memperebutkan sisa-sisa kue iklan.
Pers yang kehilangan pembaca dan iklan seperti raja yang kehilangan prajurit. Pengaruhnya berkurang, termasuk pengaruhnya membangun dan memelihara demokrasi.
Guncangan Baru AI
Spiral kerusakan pers akibat internet belum sepenuhnya selesai. Masih berlangsung. Badai PHK pun masih berlangsung. Dan akan terus berlangsung. Kita sedang menyaksikan spiral kehancuran salah satu lembaga penting dalam masyarakat.
Spiral kerusakan itu belum berhenti bergulung. Pada November 2022, muncul guncangan baru ketika OpenAI merilis ChatGPT untuk publik, disusul Gemini dan Copilot.
AI, seperti internet, bermanfaat bagi publik, juga pers. Tetapi, seperti internet, AI akan memiliki dampak spiral juga kepada pers.
Ada dua elemen utama: produktivitas dan distribusi. Di sisi produktivitas, AI membantu proses produksi pers. Misalnya, mengubah teks menjadi audio dan sebaliknya. Mengubah video menjadi teks atau sebaliknya. AI juga membantu fact checking. Membantu memberikan bahan informasi kepada jurnalis saat mencari dan mengolah informasi menjadi berita.
Masalahnya, aplikasi AI seperti ChatGPT, Gemini, dan Copilot juga adalah platform distribusi berita —seperti juga Google Search atau Facebook Feed di era internet.
Sebagai platform distribusi, AI saat ini sudah berdampak ke publisher berupa penurunan jumlah trafik (pembaca) yang signifikan. Salah satu yang meresahkan adalah fenomena zero click.
Berita dari pers muncul di hasil percakapan dengan aplikasi AI tapi user (pembaca) tidak perlu meng-klik berita karena sudah mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Atau, terkadang, situasi lebih buruk terjadi: intisari berita buatan AI yang diolah dari berita-berita publisher tidak disebutkan sumbernya sama sekali.
Setidaknya dua hal merugikan publisher. Pertama, beritanya menjadi raw material gratis, dipakai mesin AI untuk training data –semacam guru bagi AI.
Semakin bagus data untuk training, makin pintar AI-nya. Kedua, beritanya disajikan kepada user. Baik yang pertama maupun yang kedua, sebagian besar, tanpa kompensasi yang adil ke publisher sebagai pemilik berita.
Dalam hal ini, muncul isu baru, selain isu monopoli: copyright atau hak cipta. Pers tidak dilindungi UU yang memadai.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.