Artikel Kesehatan

Tuberkulosis: Penyakit Lama yang Masih Menjadi Ancaman

Namun, di balik bayangan lama itu, TB hingga kini masih menjadi masalah kesehatan global dan bahkan menempati posisi serius di Indonesia.

Editor: Eflin Rote
POS-KUPANG.COM/HO
dr. Joy January Almighty Solideo Ninu (Instansi: RSUD Sabu Raijua, Kabupaten Sabu Raijua, Provinsi Nusa Tenggara Timur) 

Tuberkulosis: Penyakit Lama yang Masih Menjadi Ancaman

Oleh: dr. Joy January Almighty Solideo Ninu
RSUD Sabu Raijua, Kabupaten Sabu Raijua, Provinsi Nusa
Tenggara Timur

Jika mendengar kata tuberkulosis (TB), sebagian orang mungkin langsung teringat dengan penyakit “batuk lama tak sembuh” atau penyakit yang dulu identik dengan stigma sosial.

Namun, di balik bayangan lama itu, TB hingga kini masih menjadi masalah kesehatan global dan bahkan menempati posisi serius di Indonesia.

Apa itu Tuberkulosis?

TB disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini paling sering menyerang paru-paru (pulmonary TB), tetapi dapat pula menyebar ke kelenjar getah bening, tulang, otak, dan organ lain.

Penularan berlangsung lewat udara: orang dengan TB aktif yang batuk, bersin, atau bahkan bicara, melepaskan droplet kecil yang mengandung bakteri — jika dihirup orang lain, infeksi bisa terjadi. Penting dibedakan antara infeksi laten (bakteri ada tetapi tidak aktif, tidak menular) dan penyakit TB aktif (gejala muncul dan dapat menular).

Angka kejadian: skala global dan Indonesia 

Dunia kembali mencatat jutaan kasus TB setiap tahun. Laporan WHO terbaru menunjukkan lonjakan kasus baru yang menjadikan TB sebagai salah satu penyakit infeksi menular terbanyak yang menyebabkan kematian.

Secara global, jutaan orang didiagnosis TB setiap tahun—angka pasti berubah tiap tahun berdasarkan pelaporan dan studi inventori nasional.

Di Indonesia, beban TB sangat besar: estimasi terbaru yang dikutip kementerian kesehatan dan WHO menempatkan Indonesia sebagai negara kedua dengan beban TB tertinggi di dunia setelah India, dengan angka estimasi kasus yang mencapai ratusan ribu hingga lebih dari 1 juta kasus dalam satu tahun (angka bervariasi menurut metode estimasi dan tahun), serta puluhan ribu kematian setiap tahun.

Studi inventori nasional juga menunjukkan besarnya kasus yang belum terdeteksi dan under-reporting — artinya banyak kasus yang tidak diobati.

Penyebab dan faktor risiko

Penyebab biologis sudah jelas: Mycobaterium tuberculosis. Namun faktor yang membuat seseorang lebih mungkin terinfeksi atau jatuh sakit adalah kombinasi medis dan sosial 

Kondisi imun yang melemah — HIV/AIDS, terapi imunosupresif, diabetes—meningkatkan risiko berkembangnya TB aktif.

Gizi buruk dan malnutrisi melemahkan pertahanan tubuh. Merokok, konsumsi alkohol berat, dan paparan polusi udara berhubungan dengan risiko lebih tinggi. Kepadatan hunian, ventilasi buruk, dan kemiskinan mempermudah penularan di komunitas.

Semua ini menegaskan bahwa TB bukan hanya persoalan mikrobiologi, melainkan juga persoalan pembangunan dan keadilan sosial.

Diagnosis dan pengobatan — ada harapan, tapi perlu disiplin

Deteksi TB modern menggunakan kombinasi: skrining gejala (batuk >2 minggu, penurunan berat badan, demam, keringat malam), foto rontgen dada, pemeriksaan dahak (mikroskop), dan tes molekuler cepat seperti Xpert MTB/RIF.

Diagnosis dini menyelamatkan nyawa dan mencegah penularan. Untuk TB sensitif obat (drug-susceptible TB), regimen standar tetap 6 bulan (dua bulan fase intensif kombinasi isoniazid, rifampicin, pyrazinamide, ethambutol, diikuti oleh empat bulan lanjutan kombinasi isoniazid dan rifampicin).

Kepatuhan penuh terhadap pengobatan sampai tuntas adalah kunci penyembuhan. Untuk TB kebal obat (MDR/RR-TB), WHO merekomendasikan regimen baru yang lebih pendek dan lebih efektif (misalnya regimen BPaLM atau BPaL tergantung profil resistensi), tetapi akses dan biaya masih menjadi tantangan.

Di Indonesia, obat TB dasar disediakan gratis melalui puskesmas, rumah sakit, dan fasilitas kesehatan yang terafiliasi program nasional — namun hambatan akses, stigma, dan putus obat masih sering terjadi. Program seperti TOSS-TB (Temukan-Obati-Sampai-Sembuh) adalah upaya pemerintah untuk meningkatkan deteksi dan menyelesaikan pengobatan.

Masalah besar: TB kebal obat dan kesenjangan layanan

Perkembangan TB kebal obat (multidrug-resistant TB/MDR-TB) menimbulkan ancaman serius. WHO memperkirakan ratusan ribu kasus MDR/RR-TB setiap tahun, namun kurang dari separuh dari mereka mendapatkan pengobatan yang tepat.

Kegagalan menemukan, mendiagnosis, dan merawat kasus-kasus ini memperbesar risiko transmisi strain yang lebih sulit diatasi.

Pencegahan praktis— apa yang dapat kita dilakukan?

Pencegahan TB memerlukan kombinasi tindakan individu dan kebijakan publik:

1. Kenali gejala, periksakan diri segera. Jika batuk >2 minggu, ada penurunan berat badan, demam, keringat malam maka periksakanlah diri ke puskesmas atau fasilitas kesehatan terdekat. Deteksi dini menyelamatkan nyawa.

2. Dukung pasien, jangan mengucilkan. Stigma menyebabkan penundaan pengobatan dukungan keluarga dan tetangga memperbesar kemungkinan penyelesaian terapi.

3. Jaga ventilasi dan kebersihan udara ruangan. Buka jendela, gunakan ventilasi alami tindakan sederhana yang mengurangi konsentrasi droplet.

4. Imunisasi BCG untuk bayi. BCG melindungi anak dari bentuk TB berat (meningitis TB, TB miliar) walau proteksinya terhadap TB paru dewasa terbatas tetap penting di negara berisiko tinggi.

5. Ikuti dan dorong program kesehatan publik. Dukung skrining komunitas, pemeriksaan kontak serumah, dan program TOSS-TB.

Opini: perlu perubahan sistemik, bukan hanya kampanye sekali waktu TB merefleksikan kelemahan sistem kesehatan dan kesenjangan sosial. Untuk benar-benar menurunkan beban TB, kita butuh kombinasi: penguatan puskesmas dan laboratorium diagnostik (termasuk akses Xpert), dukungan nutrisi bagi pasien, program pencegahan pada kelompok berisiko (People Living with HIV/PLHIV, penderita diabetes), serta pendanaan yang konsisten untuk program nasional.

Upaya vaksinasi terhadap TB dewasa yang sedang diuji coba patut didukung karena dapat mengubah permainan jika terbukti efektif. Pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil harus berkolaborasi ini bukan tugas satu pihak saja.

Penutup: peran kita semua

TB adalah penyakit yang dapat dicegah dan disembuhkan — namun kesuksesan bergantung pada deteksi dini, kepatuhan pengobatan, dan dukungan sosial.

Di tingkat nasional, diperlukan kebijakan, pendanaan, dan inovasi; di tingkat komunitas, diperlukan empati, informasi, dan tindakan sederhana seperti ventilasi dan pemeriksaan dini.

Jika kita ingin mengakhiri era TB, mari mulai dari hal yang paling dekat: jangan mengabaikan batuk yang panjang — bantu mereka yang membutuhkan — dan dorong kebijakan yang menempatkan kesehatan publik sebagai prioritas. (*)

Ikuti Berita POS-KUPANG.COM lainnya di GOOGLE NEWS

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved