Opini
Opini: Melacak Jejak Hans Monteiro
Ia formator kami — tenang, tidak banyak bicara, tetapi selalu hadir dengan ketegasan yang tidak perlu diucapkan.
Oleh: Tian Rahmat
Alumnus Seminari Tinggi St Petrus Ritapiret Maumere, Flores. Tinggal di Jakarta.
POS-KUPANG.COM - Sebagai seseorang yang pernah menjalani masa pembinaan di Seminari Tinggi Ritapiret, Flores, Nusa Tenggara Timur, saya memiliki kenangan kuat tentang sosok RD Yohanes Hans Monteiro.
Ia formator kami — tenang, tidak banyak bicara, tetapi selalu hadir dengan ketegasan yang tidak perlu diucapkan.
Karena itu, ketika Vatikan mengumumkan penunjukannya sebagai Uskup Terpilih Keuskupan Larantuka, ada rasa bangga yang tak bisa disembunyikan.
Baca juga: Opini: Duo Monteiro
Dalam banyak cara, momen itu seperti melihat seorang guru rohani akhirnya memasuki panggilan yang lebih besar dari dirinya.
Filsuf Karl Jaspers dalam Philosophy (1932) menulis bahwa manusia menemukan dirinya ketika ia dipanggil oleh sesuatu yang melampaui batas pribadinya. Kalimat itu seolah menggambarkan perjalanan Hans hari ini.
Keputusan yang Hadir dari Sebuah Panggilan Sunyi
Semua bermula pada Rabu, 12 November 2025. Nada dering telepon memecah kesunyian aktivitas seorang imam yang telah mengabdi selama 26 tahun.
Dari ujung sambungan, utusan Tahta Suci menyampaikan kabar bahwa Paus Leo XIV menunjuknya sebagai Uskup Larantuka.
Penunjukan uskup adalah hak prerogatif Paus dan prosesnya selalu berlangsung tertutup, melalui penilaian menyeluruh tentang integritas, rekam pastoral, dan kedalaman teologi seorang imam.
Hans menggambarkan momen itu sebagai “macam kilat menyambar”—singkat, mengejutkan, dan mengubah arah perjalanan hidup.
Seperti ditulis Hans Küng dalam The Catholic Church (2001), setiap penunjukan uskup lahir dari perjumpaan antara informasi yang dikumpulkan, doa, dan ruang keheningan.
Dalam kerangka itu, pilihan jatuh pada sosok yang memang lama berjalan dalam sunyi.
Pengumuman yang Menggetarkan Umat Larantuka
Sepuluh hari setelah telepon itu, Sabtu 22 November 2025 pukul 19.00 WITA, nama Hans Monteiro resmi dibacakan oleh Vatikan.
Ribuan umat memenuhi Katedral Reinha Rosario Larantuka, sementara banyak lainnya mengikuti pengumuman melalui siaran langsung media sosial.
Ketika namanya disebut, suasana berubah menjadi haru. Bagi masyarakat Flores Timur, khususnya Larantuka, peristiwa ini bukan sekadar kabar gerejawi, tetapi kabar budaya dan sejarah.
Putra asli Larantuka kembali ke tanah lahir bukan sebagai warga biasa, melainkan sebagai gembala utama.
Hans lahir di Larantuka pada 15 April 1971 dan ditahbiskan menjadi imam pada 14 Juli 1999.
Selama lebih dari dua dekade imamat, ia telah mengabdi dalam pelayanan pastoral, akademik, dan pembinaan calon imam.
Karena itu, penunjukan ini tidak hanya menyentuh sisi emosional, tetapi juga mencerminkan rekam jejak yang solid.
Jejak Akademis dan Pastoral yang Panjang
Riwayat pelayanan Hans memperlihatkan perjalanan panjang yang membentuk kedalaman intelektual dan spiritualnya.
1999–2004 – Pengajar di Seminari Menengah Santo Domingo Hokeng
2005–2018 – Menempuh studi lisensiat dan doktorat liturgi di Fakultas Teologi Katolik Universitas Wina, Austria
2005–2018 – Pelayanan sebagai vikaris di Gereja Franz-von-Assisi, Mexikoplatz, dan Gereja Maria Himmelfahrt di Bad Deutsch-Altenburg
Sejak 2018 – Dosen Liturgi IFTK Ledalero serta formator di Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret
Sejak 2022 – Anggota Komisi Liturgi KWI
Sebelum terpilih – Wakil Rektor III IFTK Ledalero
Dari perjalanan ini tampak bahwa ia adalah imam yang bekerja dengan kedalaman akademik dan ketekunan pastoral.
Teolog liturgi Josef A. Jungmann dalam karya klasiknya The Mass of the Roman Rite (1951) menegaskan bahwa seorang pemimpin liturgi harus lebih dulu menjadi murid dari misteri iman.
Jejak Hans—dari ruang kuliah hingga altar—menunjukkan proses panjang menjadi “murid misteri” itu.
Tantangan Pastoral Keuskupan Larantuka
Keuskupan Larantuka memiliki kekhasan sejarah dan spiritualitas yang kuat, termasuk tradisi Semana Santa yang telah dikenal luas.
Gereja lokal membutuhkan pemimpin yang memahami tradisi, tetapi juga mampu membaca perubahan zaman.
Paus Benediktus XVI dalam Jesus of Nazareth (2007) mengingatkan bahwa tradisi bukan sesuatu yang dibekukan, melainkan dihidupkan dari masa ke masa.
Tantangan pastoral ke depan sangat kompleks: pendampingan keluarga, dinamika kaum muda, transformasi digital, hingga penguatan pelayanan dasar di wilayah pedesaan.
Dengan latar akademik, pengalaman internasional, dan kedalaman pembinaan, Hans Monteiro datang dengan bekal yang cukup untuk memimpin Gereja Larantuka melangkah ke masa depan.
Jejak Sunyi di Ritapiret
Ada satu kenangan kecil yang melekat dalam ingatan saya sebagai mantan formandi Ritapiret.
Seusai makan malam, ketika para frater kembali ke kamar, Hans sering berdiri sendirian di dekat lapangan basket.
Ia merokok pelan, membiarkan malam memeluknya. Tidak ada nasihat panjang, tidak ada ceramah; hanya ketenangan seorang imam yang sedang berdialog dengan batin.
Søren Kierkegaard dalam Either/Or (1843) menulis bahwa dalam keheningan, manusia dapat mendengar suara yang tak didengar dunia.
Mungkin di ruang-ruang sunyi seperti itulah keteguhan pastoral Hans ditempa.
Sebagai seseorang yang pernah dibimbingnya, saya merasa pengangkatan ini bukan hanya kabar gembira, tetapi juga momen refleksi.
Dari formator yang berjalan dalam keheningan Ritapiret, Hans kini menjadi gembala yang memimpin ribuan umat.
Martin Buber dalam I and Thou (1923) menulis bahwa hidup adalah rangkaian perjumpaan.
Hari ini, umat Larantuka dipertemukan kembali dengan putranya sendiri—untuk membangun masa depan iman yang lebih kuat.
Proficiat, Mgr. Yohanes Hans Monteiro. Semoga pelayananmu menghadirkan terang bagi Gereja Larantuka dan seluruh umat yang menaruh harapan padamu. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kupang/foto/bank/originals/Tian-RahmatSFil.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.