Opini
Opini: Kami yang Hidup dari Laut Kini Tenggelam oleh Kebijakan
Laut bagi mereka bukan sekadar tempat mencari makan, tetapi ruang hidup yang menyimpan harapan dan doa.
Dan selama suara mereka terus diabaikan, pembangunan hanya akan jadi kapal besar yang berlayar megah, tapi meninggalkan perahu-perahu kecil karam di belakangnya.
Apakah Pemerintah Lupa Menghitung Denyut Kehidupan di Dermaga?
Ketika kebijakan dibuat tanpa mendengar suara dari tepi laut, yang lahir bukan kesejahteraan, melainkan beban baru bagi mereka yang sudah lama berjuang melawan kerasnya hidup.
Tidak ada forum dengar pendapat, tidak ada ruang di mana nelayan dan perempuan pesisir bisa bicara tentang kenyataan sehari-hari mereka.
Di atas kertas, keputusan itu tampak masuk akal; tapi di lapangan, setiap angka berarti panci kosong, utang bertambah, dan anak yang menunggu uang sekolah.
Daerah memang membutuhkan pendapatan, tapi menjaringnya dari retribusi yang menekan nelayan kecil adalah bentuk abai terhadap keadilan.
Penghasilan mereka bergantung pada laut yang tak bisa dijinakkan oleh jadwal atau target.
Saat ombak tinggi, kapal tak berangkat; saat harga solar naik, hasil tangkapan tak menutup biaya.
Dalam kenyataan seperti itu, kebijakan yang menaikkan tarif bukan lagi alat pengatur, melainkan alat penenggelam yang perlahan mencabut napas kehidupan di pesisir.
Ironinya, dalam setiap rapat tentang “optimalisasi aset daerah,” yang jarang dibicarakan justru manusia yang menjaga aset itu tetap hidup.
Satu keputusan administratif bisa mengguncang seluruh ritme kampung nelayan: jaring tak dijahit karena modal habis, pasar sepi karena harga naik, dan dapur tak lagi berasap di rumah-rumah yang menatap laut dengan cemas.
Di pesisir, waktu tak diukur oleh kalender birokrasi, melainkan oleh pasang surut laut. Pemerintah mungkin tahu tanggal mulai berlaku kebijakan, tapi tak tahu kapan perut rakyat mulai lapar.
Perempuan pesisir dan nelayan kecil bukan pihak yang harus terus “menyesuaikan diri” mereka adalah pusat kehidupan, penggerak ekonomi, dan penjaga keseimbangan sosial di tepi laut.
Maka sebelum pena kebijakan menuliskan angka, pemerintah seharusnya lebih dulu menghitung denyut kehidupan di dermaga, karena di sanalah nadi bangsa ini sesungguhnya masih berdetak.
Ketika Perempuan Menjadi Penyangga Krisis
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.