Opini

Opini: Kami yang Hidup dari Laut Kini Tenggelam oleh Kebijakan

Laut bagi mereka bukan sekadar tempat mencari makan, tetapi ruang hidup yang menyimpan harapan dan doa.

|
Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI TRY SURIANI L TUALAKA
Try Suriani Loit Tualaka 

Di balik tangan yang basah garam dan wajah yang disapu angin laut, mereka terus bertahan meski keadilan terasa makin menjauh. 

Perempuan di Pesisir: Tulang Punggung yang Tak Pernah Dihitung

Perempuan di pesisir bukan sekadar “istri nelayan.” Mereka adalah pencatat hasil jual ikan, pengatur utang di warung, dan penjaga dapur saat suami tak pulang karena badai. 

Saat para suami menantang ombak, merekalah yang memastikan kehidupan di darat tetap berjalan, menakar beras, menghitung hasil jualan, dan menjaga agar anak tetap sekolah. 

Namun ketika tarif retribusi naik, baik untuk sewa lahan di pelabuhan maupun potongan hasil ikan, getarannya langsung terasa di meja makan keluarga mereka.

Kenaikan retribusi yang disebut sebagai “penyesuaian Pendapatan Asli Daerah (PAD)” mungkin tampak kecil di mata pejabat, tapi bagi keluarga nelayan di pesisir NTT, angka kecil berarti besar. 

Tambahan beberapa ribu rupiah saja bisa membuat mereka menunda membeli beras, membayar uang sekolah, atau sekadar mengisi minyak untuk melaut. 

Nelayan dan perempuan pesisir tidak menolak pembangunan; mereka hanya ingin kebijakan yang adil yang lahir dari suara rakyat, bukan dari ruang ber-AC yang tak pernah mencium asin laut dan keringat mereka yang hidup darinya.

Di pasar ikan yang basah dan riuh, suara ibu-ibu nelayan adalah denyut kehidupan kampung. 

Dari hasil jual ikan asin atau jagung bakar di pinggir pantai, mereka menabung sedikit demi sedikit untuk memperbaiki atap bocor, membeli seragam sekolah, atau menyiapkan bekal untuk suami yang akan melaut. 

Tapi setiap kali kebijakan baru datang tanpa mendengar suara dari dermaga, semua perhitungan kecil itu berantakan. Yang hilang bukan sekadar uang, tapi juga rasa aman dan keyakinan bahwa kerja keras mereka berarti sesuatu.

Bagi perempuan pesisir, laut bukan sekadar tempat mencari makan, melainkan ruang belajar tentang kesabaran dan kehilangan. 

Mereka tahu apa artinya badai, kapal rusak, dan harga ikan yang jatuh. Namun yang paling menyakitkan adalah kehilangan yang datang dari kebijakan sendiri, keputusan yang lahir jauh dari kehidupan mereka, tapi menghantam langsung dapur dan hati. 

Laut telah memberi begitu banyak untuk NTT, kini saatnya pemerintah juga belajar memberi. 

Sebab di setiap piring nasi di rumah nelayan, ada kerja keras perempuan yang tak pernah masuk dalam data resmi. 

Halaman 2 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved