Opini
Opini: Guru Mesti Menjadi Pembawa Damai
Pendidik sejati tidak mengkotak-kotakkan murid berdasarkan kemampuan, latar belakang, atau kedekatan pribadi.
Oleh: Albertus Muda, S.Ag
ASN di SMAS Keberbakatan Olahraga San Bernardino Lembata
POS-KUPANG.COM - Pada awal masa pemerintahannya sebagai presiden, Joko Widodo pernah mengajak seluruh rakyat Indonesia melupakan “nomor satu” dan “nomor dua” yang sempat mengkotak-kotakkan masyarakat saat pemilihan presiden.
Ia menyerukan salam tiga jari simbol sila ketiga Pancasila, Persatuan Indonesia.
Seruan itu sederhana, tetapi sarat makna yakni kembali ke Indonesia yang rukun, bersatu, dan damai.
Ajakan itu sesungguhnya bukan sekadar pesan politik, melainkan panggilan moral yang tetap relevan hingga kini, di tengah dinamika demokrasi dan pilkada yang kadang memanas.
Baca juga: Opini: Kontribusi Kepemimpinan Etis bagi Organisasi
Dalam setiap kontestasi, selalu ada yang menang dan kalah. Karena itu, setiap kandidat dan pendukungnya perlu belajar menerima hasil dengan lapang dada. Politik yang beradab menuntut jiwa besar dan semangat persaudaraan.
Sayangnya, praktik politik kita masih sering diwarnai kampanye hitam, saling ejek, dan klaim sepihak.
Padahal, tugas utama para pemimpin dan timnya adalah memberi pendidikan politik yang sehat kepada masyarakat bahwa politik bukan ajang permusuhan, melainkan ruang untuk mencari kebaikan bersama.
Sikap legowo menerima kekalahan, keberanian mengakui kelebihan orang lain, dan kemampuan berdialog secara jujur merupakan tanda kedewasaan berdemokrasi.
Inilah nilai-nilai yang juga seharusnya hidup dalam dunia pendidikan kita.
Sekolah Rahim Perdamaian
Dunia pendidikan adalah benteng terakhir pembentukan karakter bangsa. Di sanalah semangat kejujuran, keadilan, dan kedamaian semestinya ditanamkan.
Guru, sebagai sosok panutan, harus menjadi teladan dalam hal itu. Ia bukan hanya pengajar, tetapi juga pembawa damai, agent of peace yang menumbuhkan semangat rekonsiliasi di tengah perbedaan.
Pendidik sejati tidak mengkotak-kotakkan murid berdasarkan kemampuan, latar belakang, atau kedekatan pribadi.
Ia membuka ruang bagi setiap peserta didik untuk tumbuh dan berproses menjadi pribadi utuh.
Dunia pendidikan seharusnya menjadi rahim persaudaraan, bukan arena persaingan tidak sehat.
Sudah saatnya kita berani meninggalkan zona nyaman kebiasaan lama seperti kekerasan verbal, saling menyalahkan, atau komunikasi yang penuh amarah.
Sekolah perlu menjadi tempat yang melatih kebiasaan baru yakni saling menghormati, meminta maaf, dan membangun dialog yang tulus.
Mendidik dengan Nurani
Pembangunan manusia tidak kalah penting dari pembangunan fisik. Kita boleh membangun gedung-gedung sekolah yang megah, tetapi tanpa karakter damai di dalamnya, Pendidikan kehilangan rohnya.
Karena itu, guru harus menjadi penghembus angin sejuk, menanamkan nilai-nilai kerukunan dan solidaritas sejak dini.
Paus Fransiskus pernah berkata, menciptakan perdamaian membutuhkan keberanian yang lebih besar daripada berperang.
Diperlukan keberanian untuk mengatakan “ya” kepada dialog, “ya” kepada kejujuran, dan “ya” kepada sikap tulus tanpa topeng. Seruan ini relevan bagi siapa saja yang bekerja di dunia pendidikan.
Guru dipanggil untuk menumbuhkan optimisme, bukan pesimisme; menyalakan harapan, bukan menyebarkan rasa curiga.
Dalam ruang kelas, ia membangun suasana saling menghargai dan menumbuhkan solidaritas antarpeserta didik.
Pendidikan seperti inilah yang menyiapkan generasi muda yang solider, kreatif, dan berkarakter damai.
Menjadi Tokoh Damai
Dalam konteks lokal Lembata, semboyan Taan Tou yang artinya kita semua satu pantas untuk terus dihidupkan dalam keseharian hidup masyarakat.
Semboyan itu tidak boleh berhenti pada slogan, tetapi mesti menjadi semangat nyata di sekolah dan masyarakat.
Menjadi pembawa damai memang tidak mudah. Ia menuntut pengolahan batin dan kedewasaan diri.
Guru mesti berdamai terlebih dahulu dengan dirinya sendiri dengan masa lalu, dengan sesama, dan dengan Tuhan.
Dari situlah lahir pribadi yang teduh dan bijaksana, yang menyalurkan kedamaian ke sekitarnya.
Dunia pendidikan membutuhkan sosok guru yang bukan hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara emosional dan spiritual.
Guru yang mampu menyalakan lilin perdamaian di tengah kegelapan zaman.
Mari kita terus membina diri sebagai tokoh-tokoh damai, yang menebar terang dalam dunia pendidikan dan kehidupan bersama.
Karena hanya dengan damai, pendidikan dapat benar-benar memanusiakan manusia. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Opini: Kontribusi Kepemimpinan Etis bagi Organisasi |
![]() |
---|
Opini: APBD Perubahan, Instrumen Korektif dalam Tata Kelola Keuangan Daerah |
![]() |
---|
Opini: Efisiensi TKD, Saatnya Daerah Berhenti Bergantung dan Mulai Kreatif Secara Fiskal |
![]() |
---|
Opini: Guru dan Tantangan Eksplorasi Diri |
![]() |
---|
Opini: Di Manakah Frans Seda yang Dulu Beken? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.