Breaking News

Opini

Opini: APBD Perubahan, Instrumen Korektif dalam Tata Kelola Keuangan Daerah

Jika ditelusuri lima tahun ke belakang, pola ini merupakan penurunan paling tajam dalam sejarah fiskal Kabupaten Ende. 

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI WILHELMUS M ADAM
Wilhelmus Mustari Adam 

Namun memang, PP yang sama pada Pasal 179 ayat (2) menyebutkan bahwa Rancangan Perubahan APBD harus disampaikan kepada DPRD paling lambat minggu pertama bulan September dan disetujui bersama sebelum tanggal 30 September tahun anggaran berjalan. Artinya, batas waktu pembahasan memang sudah lewat. 

Tetapi secara hukum administrasi, melewati tenggat waktu tidak berarti tidak dapat melakukan penyesuaian sama sekali. 

Hal ini karena esensi sebuah anggaran daerah harus dapat membantu menyelesaikan persoalan yang dihadapi rakyat.

Ketiga, Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis  Pengelolaan Keuangan Daerah, menyebutkan bahwa jika pembahasan Perubahan APBD tidak dapat diselesaikan hingga batas waktu tersebut, kepala daerah melaksanakan pengeluaran yang telah dianggarkan dalam APBD tahun anggaran berkenaan. 

Dalam kondisi ini, kepala daerah tetap wajib melaporkan kondisi keuangan dan langkah korektif kepada Menteri Dalam Negeri dan DPRD. 

Dengan kata lain, regulasi ini membuka ruang bagi perubahan terbatas  misalnya melalui mekanisme pergeseran antar kegiatan atau refocusing untuk menyesuaikan pelaksanaan anggaran tanpa harus menunggu tahun berikutnya.

Ketiga regulasi ini menegaskan bahwa Perubahan APBD bukan pilihan politis, melainkan kewajiban teknokratis dan normatif untuk menjaga kesesuaian antara asumsi fiskal dan kondisi nyata di lapangan. 

Mengabaikan Perubahan, Mengabaikan Tata Kelola

Menolak pembahasan Perubahan APBD di tengah realisasi rendah adalah langkah yang justru melemahkan tata kelola fiskal daerah. 

Dalam perspektif kebijakan publik, kebijakan yang tidak responsif terhadap data dan realitas ekonomi adalah bentuk kegagalan adaptasi administratif.

Secara fiskal, rendahnya realisasi belanja dan pendapatan berpotensi menimbulkan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA) yang besar di akhir tahun. 

Dana publik akan mengendap tanpa menghasilkan dampak ekonomi yang berarti. Sebaliknya, jika pendapatan tidak tercapai, sementara belanja tetap berjalan, risiko defisit kas meningkat.

Secara ekonomi, rendahnya belanja modal menghambat pertumbuhan. Anggaran publik yang seharusnya menjadi stimulus bagi sektor konstruksi, jasa, dan konsumsi lokal, justru tertahan karena ketiadaan koreksi anggaran. 

Masyarakat pun kehilangan manfaat langsung dari kehadiran fiskal pemerintah daerah.

Dari sisi tata kelola pemerintahan, keputusan untuk tidak melakukan perubahan APBD menunjukkan rendahnya sensitivitas birokrasi terhadap prinsip good governance: transparansi, akuntabilitas, dan efektivitas. 

Halaman 3 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved