Opini

Opini: Menyelamatkan Desa Pesisir dari Regulasi Setengah Hati

Artinya, Perdes yang disusun hanya sebatas memenuhi kewajiban administratif tanpa diiringi dengan komitmen implementasi yang nyata.

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI TRY SURIANI L TUALAKA
Try Suriani Loit Tualaka 

Padahal, idealnya Perdes hadir sebagai wahana penyelarasan kepentingan yang menyeimbangkan kebutuhan nelayan kecil, perempuan pesisir, dan pemuda desa dengan derasnya arus investasi besar yang masuk ke wilayah mereka.

Lebih jauh, Perdes juga menjadi ujian atas sejauh mana desa mampu mempraktikkan good governance di tingkat paling bawah. 

Di satu sisi, desa dituntut membuka ruang partisipasi yang bermakna; di sisi lain, ada risiko kooptasi oleh elit lokal atau intervensi kepentingan eksternal, seperti tekanan dari investor besar, arahan sepihak pemerintah supra-desa, atau bahkan pengaruh organisasi politik yang memiliki agenda tertentu. 

Bentuk intervensi semacam ini seringkali lebih kuat dibandingkan suara warga biasa. Inilah yang membuat Perdes kerap berada di persimpangan: apakah ia benar-benar menjadi instrument demokratisasi kebijakan yang berpihak pada masyarakat, atau sekadar perpanjangan tangan
kepentingan segelintir pihak.

Dari kacamata administrasi negara, dinamika ini menegaskan bahwa Perdes bukan hanya teks normatif, melainkan arena politik administratif yang sarat tarik-menarik kepentingan. 

Di sinilah kapasitas aparatur desa, budaya birokrasi, dan kesadaran warga berperan penting. 

Tanpa kombinasi ketiganya, Perdes sulit keluar dari jebakan proseduralisme sekadar memenuhi kewajiban formal tanpa menciptakan perubahan substantif bagi masyarakat.

Strategi Menguatkan Tata Kelola Desa

Kelemahan tata kelola desa bukanlah sebuah keniscayaan. Administrasi negara menawarkan pisau analisis sekaligus strategi perbaikan. 

Untuk menghidupkan Perdes sebagai instrumen politik pembangunan desa, setidaknya ada tiga langkah strategis yang mendesak ditempuh.

Pertama, penguatan kapasitas aparatur desa melalui pelatihan teknis dalam penyusunan regulasi yang berbasis hukum, data, dan analisis kebijakan. 

Kedua, transformasi partisipasi warga dari sekadar formalitas menjadi ruang deliberatif, sehingga suara nelayan, perempuan, dan pemuda menjadi fondasi kebijakan. 

Ketiga, sinkronisasi lintas level regulasi, agar Perdes tidak berjalan sendiri, melainkan sejalan dengan kerangka pembangunan daerah maupun nasional.

Dengan demikian, pisau administrasi negara tidak berhenti pada kritik, melainkan juga membuka jalan strategis. 

Keberhasilan Perdes bukan hanya ditentukan oleh aspek legalitas, melainkan sejauh mana ia mampu menjadi instrumen keberpihakan dan tata Kelola desa yang tegak di tengah benturan kepentingan. 

Halaman 3 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved