Opini
Opini: Menyelamatkan Desa Pesisir dari Regulasi Setengah Hati
Artinya, Perdes yang disusun hanya sebatas memenuhi kewajiban administratif tanpa diiringi dengan komitmen implementasi yang nyata.
Ketiadaan mekanisme koordinasi dan keberanian politik untuk memperjuangkan kepentingan warga membuat Perdes mandek di atas kertas, sementara ketidakadilan struktural di desa pesisir terus berlangsung tanpa solusi.
Jika dibandingkan, wajah Perdes di pesisir NTT dan Sulawesi Selatan memperlihatkan kontras yang mencolok.
Di NTT, data dari Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa tahun 2023 mencatat sebagian besar Perdes pesisir khususnya di Rote Ndao dan Manggarai Barat berhenti di tahap pengesahan tanpa diikuti implementasi.
Contohnya, Perdes tentang tata kelola rumput laut di Desa Oeseli (Rote Ndao) tidak berjalan karena aparatur desa kesulitan menyusun mekanisme pengawasan dan tidak ada dukungan anggaran yang memadai.
Sebaliknya, di Sulawesi Selatan, beberapa desa di Kabupaten Pangkep dan Takalar berhasil menjadikan Perdes sebagai instrumen nyata.
Perdes zonasi tangkap nelayan di Desa Mattiro Deceng, misalnya, mampu mengurangi konflik antar nelayan karena disusun Bersama nelayan lokal dengan pendampingan perguruan tinggi dan LSM lingkungan.
Fakta ini menegaskan bahwa keberhasilan Perdes bukan semata soal otonomi desa, melainkan bergantung pada kapasitas birokrasi lokal, kualitas partisipasi, dan kuatnya jejaring pendukung di luar desa.
Membaca Tata Kelola Lebih Jauh
Dalam perspektif administrasi negara, Peraturan Desa (Perdes) tidak semata-mata merupakan produk hukum, melainkan cermin dari tata kelola desa.
Ia menggambarkan bagaimana proses perencanaan, koordinasi, pelaksanaan, hingga evaluasi dijalankan di tingkat lokal.
Karena itu, kualitas Perdes tidak cukup diukur dari sisi legalitas formal, tetapi juga dari sejauh mana ia lahir melalui proses yang transparan, akuntabel, dan partisipatif.
Administrasi negara menekankan pentingnya policy cycle yang utuh: mulai dari tahap identifikasi masalah, perumusan kebijakan, pengesahan, implementasi, hingga evaluasi dan pengawasan.
Siklus ini seharusnya berjalan berulang (iteratif) agar kebijakan dapat diperbaiki sesuai dinamika kebutuhan masyarakat.
Namun, pada banyak desa pesisir, siklus ini kerap terhenti di tengah jalan misalnya hanya sampai tahap perumusan atau pengesahan tanpa diikuti implementasi efektif maupun evaluasi.
Akibatnya, Perdes sering gagal menjadi instrumen keberpihakan dan hanya berakhir sebagai “arsitektur di atas kertas”.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.