Opini

Opini: Setiap Hari 50 Anak Diracun oleh Negara 

Tingginya sorotan publik, yang diiringi berita keracunan massal di berbagai provinsi, menciptakan citra negatif yang semakin meningkat. 

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI DODY KUDJI LEDE
Dody Kudji Lede 

Oleh: Dody Kudji Lede
Pengamat Sosial

POS-KUPANG.COM - Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diluncurkan oleh Presiden Prabowo pada Januari 2025, menjadi program paling diunggulkan oleh rezim ini dengan menyedot berbagai sumber daya anggaran agar dapat berjalan. 

Program yang baik menurut pemerintah ini telah menyedot banyak opini hingga memicu publik masuk dalam perdebatan panjang antara yang pro dan kontra. 

Kontroversi MBG: Gizi vs Risiko Kesehatan

Pihak pro-MBG—yang mayoritas terdiri dari pendukung pemerintah dan pelaksana program—menekankan bahwa program ini adalah solusi cepat dan masif untuk mengatasi masalah gizi dan stunting. 

Baca juga: Negara Bayar Premium, Anak-anak MBG Terima Makanan Murahan 

Mereka mengklaim MBG telah menjangkau puluhan juta penerima manfaat, membantu ekonomi daerah melalui pengadaan lokal, dan menjadi fondasi utama pembangunan generasi emas 2045. 

Bagi mereka, keberhasilan program harus dilihat dari skala manfaat yang luar biasa besar dan cepat.

Sebaliknya, pihak kontra-MBG—termasuk aktivis pendidikan, pakar gizi, dan masyarakat sipil—mengajukan argumen yang tak kalah tajam, mulai dari sorotan tentang kualitas gizi menu, masalah tata kelola yang rawan korupsi, dan yang paling krusial, masalah keamanan pangan. 

Bagi pihak kontra, tujuan mulia menjadi tidak relevan jika dieksekusi dengan amburadul, dan hanya untuk bagi-bagi jatah kekuasaan sehingga justru membahayakan kesehatan anak.

Tingginya sorotan publik, yang diiringi berita keracunan massal di berbagai provinsi, menciptakan citra negatif yang semakin meningkat. 

Desakan publik untuk menghentikan sementara program ini tidak lagi terhindarkan. 

Dalam situasi inilah, Presiden Prabowo Subianto memberikan respons, mengalihkan fokus perdebatan ke domain statistik dengan mengakui adanya kekurangan, tetapi menekankan bahwa tingkat kesalahan atau keracunan hanya sebesar 0,00017 persen dari total penerima manfaat harian.

Kegagalan Ganda: Salah Sasaran dan Salah Kelola

Masalah MBG ini sebenarnya bermuka dua: salah sasaran medis dan salah kelola program.

Secara medis, klaim bahwa MBG bertujuan mencegah stunting adalah problematis dan tidak tepat sasaran. 

Stunting adalah kondisi gagal tumbuh akibat kekurangan gizi kronis, yang penentuannya terjadi pada 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), yaitu sejak janin hingga anak berusia dua tahun. 

Ini berarti, ketika anak mencapai usia Sekolah Dasar (6–12 tahun)—target utama MBG—masa kritis pencegahan stunting sudah lewat. Anak yang sudah terlanjur stunting tidak bisa lagi dikejar tinggi badannya. 

Intervensi gizi di usia SD hanya bertujuan memperbaiki gizi umum, daya tahan tubuh, dan konsentrasi belajar, bukan mencegah stunting di level populasi. 

Mengaitkan MBG dengan ‘pencegahan stunting’ memang terdengar manis secara politik, memberikan daya tawar program yang tinggi. 

Namun, alangkah lebih baik jika pencegahan stunting lebih difokuskan pada ibu hamil, bayi, dan balita. 

Pemerintah harusnya bisa mengandalkan Posyandu, sebagai ujung tombak Pemberian Makanan Tambahan (PMT) balita, dan suplementasi.

Realitas Harian: 50 Anak Tumbang Setiap Hari

Masalah kedua, dan yang paling mendesak, adalah kegagalan manajemen yang ditunjukkan oleh tingginya kasus keracunan.

Pemerintah berpegang teguh pada persentase yang dianggap kecil. Hanya 0,00017 persen korban keracunan dari total penerima manfaat. Klaim ini justru memerangkap pemerintah jebakan statistik yang menyesatkan. 

Ketika statistik yang dipakai sebagai standar pemerintah untuk membela kepentingannya, seharusnya mereka tidak boleh hanya terjebak dalam angka dan kuantitas yang pada akhirnya gagal menangkap nilai kualitatif atau emosional dari fenomena keracunan MBG ini. 

Sebab angka bisa dimanupilasi hingga akhirnya mendukung argumen yang bias. 

Ketika sebuah program menyentuh nyawa manusia, angka statistik tidak boleh dijadikan pembenaran untuk kelalaian. 

Jika pemerintah memaksakan menggunakan statistik, saya pun dapat menggunakan statistik yang sama sehingga kita bisa melihat bahwa jumlah korban sebenarnya lebih besar daripada sekedar angka kecil yang disampaikan. 

Mari kita berhitung untuk meng-counter narasi statistik yang dingin dari pemerintah. 

Ada dua versi korban, menurut BGN, per 21 September 2025 jumlah korban MBG sebanyak 6.452 anak. 

Nilai ini lebih kecil dari versi Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) yakni sebanyak 8.649 anak. 

Mari kita abaikan dulu data BGN karena ini versi pemerintah, kita gunakan saja data dari JPPI yang lebih independen. 

Selanjutnya, mari kita hitung jumlah hari sejak program ini berjalan, dari Januari hingga September 2025.

Karena hari efektif kerja di Indonesia adalah Senin sampai Jumat, maka hari Sabtu, Minggu, cuti bersama, serta hari libur nasional akan dikeluarkan dari perhitungan ini, sehingga jumlah hitungan yang akan kita pakai adalah 173 hari. 

Berdasarkan data ini, kita akan menghitung jumlah harian kasus keracunan anak akibat MBG, yakni dengan membagi total anak korban MBG dengan total hari kerja efektif yakni 8.649/173=49,99, pembulatan ke atas menjadi 50. 

Angka rata-rata 50 anak per hari jauh lebih kuat dan lebih nyata daripada 0,00017 persen. 

Tingginya angka selain menunjukkan bahwa statistik yang diberikan pemerintah menjadi tidak memiliki nilai, juga mempertontonkan cerminan kegagalan sistemik dalam rantai pasok dan tata kelola program MBG. 

Dengan angka rata-rata 50 ini juga, kasus keracunan tidak bisa lagi dibilang hanya bias kecil tetapi adalah kejadian luar biasa yang harus ditangani secara serius atas nama kemanusiaan. 

Manajemen Dapur Amburadul dan Tuntutan Moratorium

Kegagalan sistemik ini berakar pada manajemen Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). 

Laporan di lapangan menunjukkan pengadaan bahan baku yang melanggar SOP (dibeli H-4 padahal wajib H-2), dan yang lebih miris, banyak dapur yang tidak memenuhi standar higiene pangan industri.

Selain itu, slogan “dapur berstandar rumahan” yang pernah muncul terdengar sebagai humor gelap yang menyedihkan. 

Apakah kita sungguh ingin menciptakan generasi emas dengan makanan yang dibuat di dapur yang risikonya setinggi di rumahan biasa, tetapi dalam skala massal? 

Sekali lagi, ini adalah konsep program paling amburadul yang hanya akan mengantarkan kegagalan akut dalam manajemen risiko pangan ke arah yang menjeremuskan anak-anak sebagai masa depan negara ini ke jurang kematian yang sengaja diatur oleh negara secara terstruktur, sistematis dan masif.

Di tengah pro dan kontra program ini, suka atau tidak, Pemerintah harus mau untuk mengakhiri permainan angka dan berani menghadapi realitas. 

Realitas bahwa sudah terlalu banyak korban dari program ambisius ini. Keselamatan pangan dan keselamatan anak-anak harus menjadi prioritas, bukan citra politik dan keberlanjutan program. 

Langkah tegas harus berani diambil Presiden dengan menghentikan program ini tanpa harus takut dipermalukan karena gagalnya konsep.

Ratusan triliun sumber daya anggaran yang sudah ada bisa dialihkan untuk pembangunan lain yang lebih menyentuh kebutuhan dasar masyarakat, termasuk untuk mendukung 1.000 HPK yang lebih terbukti efektif mencegah stunting (jika memang tujuan program MBG adalah murni untuk mencegah stunting) melalui perbaikan total pada layanan posyandu dan PMT balita. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved