Opini
Opini: Membuka Ruang Sosial yang Setara Bagi Perempuan Dalam Adat Manggarai
Adat Manggarai di Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah warisan budaya yang kaya dengan nilai kebersamaan, musyawarah, dan ikatan kekeluargaan.
Oleh: Anatolia Rosita Hajum
Mahasiswi Semester VII Stipas St. Sirilus Ruteng, Manggarai Flores
POS-KUPANG.COM - Adat istiadat merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Manggarai di Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Ia mengatur banyak aspek kehidupan, mulai dari pembagian warisan, pengambilan keputusan kolektif, hingga pengelolaan tanah ulayat.
Namun, dalam struktur adat yang kental dengan nilai-nilai patriarkal, perempuan masih belum mendapatkan tempat yang setara.
Meskipun mereka memainkan peran penting dalam menjaga kehidupan keluarga, ekonomi, dan pelestarian budaya, perempuan Manggarai sering kali hanya menjadi pelengkap dalam forum-forum adat yang bersifat formal.
Baca juga: Opini: Transformasi Pendidikan yang Membumi
Realitas ini menunjukkan bahwa sistem adat masih menyisakan ketimpangan yang membatasi ruang sosial perempuan untuk berpartisipasi secara aktif dan setara.
Di sinilah pentingnya membuka kembali ruang dialog dan refleksi kritis terhadap bagaimana adat dapat ditafsirkan secara lebih inklusif, tanpa kehilangan nilai-nilai dasarnya.
Adat Manggarai di Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah warisan budaya yang kaya dengan nilai kebersamaan, musyawarah, dan ikatan kekeluargaan.
Salah satu inti adat adalah lonto leok, yaitu musyawarah dalam lingkaran.
Dalam bahasa Manggarai dikatakan: “Nai ca anggit, tuka ca leleng” yang berarti “Setiap orang punya bagian dan tempat.”
Namun dalam praktiknya, perempuan Manggarai sering kali belum mendapat ruang setara dalam forum adat.
Mereka dihormati sebagai penjaga kehidupan, tetapi lebih banyak ditempatkan pada ranah domestik.
Padahal, jika merujuk pada nilai-nilai adat itu sendiri, perempuan seharusnya memiliki peran yang sama pentingnya dengan laki-laki dalam menjaga keharmonisan hidup bersama.
Di tengah kekayaan budaya dan kearifan lokal masyarakat Manggarai, masih terdapat ketimpangan mendasar dalam hal gender, khususnya dalam struktur adat yang masih sangat dipengaruhi sistem patriarkal.
Ketimpangan ini tampak nyata dalam pembagian peran sosail dan ruang partisipasi anatara laki-laki dan perempuan.
Salah satu contoh yang paling jelas dalam forum lontok leok, musyawarah adat yang digunakan untuk menyelesaikan masalah atau mengambil keputusan penting di tingkat kampung atau keluarga besar.
Dalam forum ini, suara laki-laki dianggap sebagai representasi keluarga atau suku, sementara perempuan jarang diundang secara formal, apalagi diberi ruang bicara. Kehadiran mereka sering kali bersifat simbolik, bukan substansi.
Selain itu, hak atas tanah ulayat dan warisan juga memperlihatkan ketimpangan gender yang mencolok.
Dalam banyak kasus, hak milik tanah diwariskan melalui garis laki-laki, sementara perempuan dianggap sebagai “tamu” dalam tanah kelahiran sendiri, terutama setelah menikah.
Padahal, dalam praktik, perempuan turut bekerja mengelola lahan, menjaga keberlanjutan hasil tani, bahkan menyelesaikan hasil konflik dalam keluarga.
Ketimpangan ini tidak hanya berdampak pada terbatasnya akses perempuan terhadap pengambilan keputusan, tetapi juga mempersempit peluang mereka dalam membangun posisi sosial yang kuat di komunitas.
Perempuan menjadi kelompok yang secara struktural dikondisikan untuk “menyokong dari belakang”, tanpa pengakuan yang setara atas kontribusi mereka.
Ironisnya, sistem ini seringkali dilestarikan atas nama adat dan "kebiasaan leluhur", meskipun tidak selalu semua nilai adat secara eksplisit mendiskriminasi perempuan.
Justru, dalam beberapa cerita lisan dan praktik lama, perempuan pernah memiliki peran penting namun kemudian tergerus oleh penafsiran adat yang semakin kaku dan bias gender.
Realitas ini menunjukkan bahwa kesetaraan gender masih jauh dari tercapai dalam konteks adat Manggarai.
Ketimpangan ini perlu diangkat ke permukaan bukan untuk menolak adat, melainkan untuk mendorong tafsir ulang yang lebih adil dan kontekstual sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan perkembangan zaman.
Meskipun tidak banyak diakui secara formal dalam struktur adat, perempuan Manggarai sesungguhnya memainkan peran yang sangat vital dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat.
Peran ini terlihat nyata dalam kehidupan sehari-hari, bahkan menjadi penyangga utama keberlangsungan komunitas.
Dalam lingkup keluarga, perempuan bukan hanya sebagai ibu rumah tangga, tetapi juga sebagai pengelola ekonomi rumah, pengambil keputusan domestik, sekaligus pendidik pertama bagi anak-anak.
Mereka menjaga nilai, mengajarkan sopan santun, dan mentransfer kebijaksanaan lokal dari generasi ke generasi.
Di sektor ekonomi, perempuan aktif mengelola lahan pertanian, berdagang di pasar tradisional, mengolah hasil bumi, serta menjalankan usaha kecil seperti menjahit, membuat anyaman, atau menjual hasil kebun.
Dalam banyak kasus, merekalah yang memastikan stabilitas ekonomi rumah tangga tetap terjaga, terutama ketika laki-laki harus merantau atau bekerja di luar desa.
Dalam urusan sosial dan budaya, perempuan sering menjadi penjaga harmoni.
Mereka menjadi tokoh pemersatu dalam keluarga besar, juru damai dalam konflik internal, bahkan penyelamat nilai-nilai adat melalui praktik-praktik keseharian seperti merawat tradisi makan bersama, memberi nasehat adat, atau mempersiapkan ritual adat yang tak bisa berjalan tanpa kehadiran mereka.
Namun, sayangnya, kontribusi ini tidak diikuti dengan pengakuan yang setara dalam ruang formal.
Perempuan tetap ditempatkan di “pinggiran” saat adat mengambil keputusan.
Padahal, bila diukur dari peran, tanggung jawab, dan pengaruh sosialnya, perempuan sejatinya pantas mendapat ruang sosial yang lebih terbuka dan adil.
Dengan kata lain, perempuan bukan sekadar pelengkap dalam masyarakat Manggarai.
Mereka adalah penggerak kehidupan, penjaga keberlanjutan budaya, dan mitra sejajar dalam membangun komunitas.
Sudah saatnya peran nyata ini diakui tidak hanya secara informal, tetapi juga diberi tempat dalam struktur sosial dan adat secara lebih adil. Adat sejatinya bukanlah sesuatu yang kaku dan tak bisa disentuh.
Ia adalah sistem nilai yang hidup, tumbuh, dan seharusnya mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Di Manggarai, adat masih menjadi landasan kuat dalam mengatur kehidupan sosial.
Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian tafsir adat selama ini telah melanggengkan ketimpangan, terutama dalam hal peran dan posisi perempuan.
Penafsiran adat yang cenderung patriarkal sering kali menempatkan perempuan sebagai pihak yang hanya mendukung dari belakang.
Nilai Adat yang Mendukung Kesetaraan
Sesungguhnya, adat Manggarai memiliki nilai dasar yang dapat dipakai untuk mendorong keterlibatan perempuan.
Dalam lonto leok, semua orang duduk melingkar tanpa kursi khusus, melambangkan kesetaraan.
Pepatah adat mengatakan: “Teing hang, teing woja, teing curup, teing cama” yang berarti “semua sama, tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah.”
Jika nilai ini dihidupi secara konsisten, maka perempuan juga seharusnya punya hak bicara.
Selain itu, banyak cerita rakyat Manggarai menggambarkan perempuan sebagai sosok bijak, bahkan penentu keputusan keluarga.
Misalnya, dalam beberapa legenda lokal, ibu dianggap sebagai penjaga kehidupan sekaligus penasihat keluarga.
Sudah saatnya adat Manggarai ditafsirkan ulang agar sejalan dengan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan.
Membuka ruang setara bagi perempuan bukan berarti melawan adat, tetapi justru menghidupi roh sejati adat Manggarai: kebersamaan, musyawarah, dan keadilan.
Perempuan adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan adat. Jika perempuan diberi ruang bicara, adat Manggarai tidak akan kehilangan jati dirinya.
Sebaliknya, ia akan semakin hidup, relevan, dan kuat sebagai warisan yang dibanggakan oleh generasi mendatang. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.