Opini

Opini: Transformasi Pendidikan yang Membumi 

Persoalannya, bagaimana menjadikan Muspas menghasilkan pemikiran membumi dan penerapan yang berdampak? 

Editor: Dion DB Putra
DOK POS-KUPANG.COM
Robert Bala 

Catatan untuk Muspas Keuskupan Agung Kupang 

Oleh: Robert Bala
Penulis buku MENJADI GURU HEBAT ZAMAN NOW, Cetakan ketiga, Penerbit Gramedia Jakarta.

POS-KUPANG.COM - Tanggal 29 September sampai 3 Oktober 2025, Keuskupan Agung Kupang (KAK) mengadakan Musyawarah Pastoral (Muspas). 

Selama seminggu, tiga utusan dari tiap paroki ditambah utusan dari kongregasi dan Yayasan Pendidikan akan menggeluti tema: Gereja KAK Berjalan Bersama Menuju Indonesia Emas Melalui Transformasi Pendidikan. 

Dari tema ini bisa terbaca, Gereja KAK, berkomitmen mengambil peran untuk ikut dalam arus besar pembanguann nasional secara khusus melalui visi Indonesia Emas 1945.  

Diharapkan melalui pendidikan, dapat dihasilkan generasi cerdas, beriman, dan berkarakter yang  merupakan pijakan yang memungkinkan terjadinya transformasi sosial dan moral. 

Baca juga: Opini: Belajar Membaca Prioritas Anggaran Publik

Persoalannya, bagaimana menjadikan Muspas menghasilkan pemikiran membumi dan penerapan yang berdampak? 

Harapan ini penting karena mengakhiri sebuah Muspas hanya pada butiran instruksi moral tentu tidak akan cukup untuk membuat sebuah transformasi bermakna. 

Lompat Pagar 

Tidak cukup dalam bagi sebuah tulisan singkat untuk membahas pendidikan secara holistik mencakup pendidikan baik secara informal, formal, maupun non-formal. 

Selain itu peranan orang tua sebagai pendidik atau dalam bahasa Mahatma Gandhi: Tidak ada sekolah yang setara dengan rumah yang baik dan tidak ada guru yang setara dengan orangtua yang baik, tidak dibahas dalam tulisan singkat ini. 

Hal ini akan menjadi telaah pada kesempatan lain. Fokus lebih pada pembenahan sekolah Katolik agar dapat menjadi agen pembaharuan seperti didambakan. 

Bila diteropong dalam konteks Keuskupan Agung Kupang, maka bagaimana 74 institusi sekolah (11 TK, 47 SD, 13 SMP, dan 3 SMA) yang berada di bawah Yayasan Swastisari ini bisa menjadi agen transformasi. 

Meminjam kata-kata dari penulis asal India Shakuntala Devi yang dijuluki: “manusia komputer”, sekolah katolik sekadar menjadi tempat siswa memperoleh ijazah tetapi terutama bagaimana melebarkan pengetahuan,  dan meresapkan kebenaran tentang kehidupan. 

Hal ini penting karena masih banyak institusi pendidikan yang sebatas menjadi transmisi pengetahuan, tetapi belum menjamin adanya perubahan cara berpikir, berperilaku, dan beriman. 

Penegasan ini tidak sekadar angan. Di masa lalu, peran gereja dalam pendidikan menjadi sangat penting dan telah diakui jejak historis dengan pengaruh yang besar hingga kini.  

Inilah reputasi panjang dalamnya terdapat tradisi akademik, jaringan alumni, dan reputasi yang kuat yang membuatnya kian kokoh saat ini. 

Kesaksian sejarah juga memberikan pengakuan, dalam proses pendidikan sekolah, gereja (masa lalu) sangat mengedepankan pendidikan karakter, kedisiplinan, etika, dan kepemimpinan. 

Pola ini menyebabkan para lulusan tidak saja terkenal oleh kadar intelektualitasnya tetapi juga memiliki kepribadian yang matang. Inilah yang disebut kurikulum holistik. 

Tidak hanya itu. Terobosan misi di masa lalu mengiirmkan siswa-siswi terbaik mengenyam pendidikan baik dalam maupun luar negeri tidak bisa dianggap sebagai hal kecil. 

Benih-benih itu kemudian lahir dan bertumbuh dari berbagai daerah sebagai sebuah kekuatan dengan daya pengaruh yang sangat besar terasa. 

Bila dikaji dalam perspektif ini maka persis hal ini menjadi sebuah celah yang cukup besar saat ini. 

Sangat terasa bahwa komitmen mendapatkan guru dan tenaga pendidikan berkualitas merupakah celah yang dengan mudah dideteksi. 

Selain itu, tenaga profesional kerap tidak bisa dijaga dan dirawat karena setelah ikatan dinas (kalau disekolahkan gereja), kemudian mereka segera melangkah menjadi ASN. 

Sebuah aksi ‘lompat pagar’ yang patut disesali tetapi kata Marian Wright Edelman, pendidikan ada untuk meningkatkan kehidupan (improving the lives) dan tidak sekadar memberikan janji nirwana. 

Berjalan Bersama 

Untaian keprihatinan akan sekolah katolik mendorong beberapa pemikiran berikut. Hanya dengan demikian Muspas bisa lebih membumi oleh beberapa alternatif solusi. 

Pertama, pendidikan perlu mengambil peran seperti garam (dan terang dunia). Peranan garam dalam membuat rasa pada makanan tidak mesti hadir secara kasat mata tetapi menyelinap dan memengaruhi dunia dari dalam. 

Komitmen tiap paroki menyekolahkan siswa terbaik menjadi guru dan komitmen menyokong dengan kehidupan yang pantas akan menjadi bak garam yang membuat dinamika kehidupan menjadi berbeda. 

Guru-guru profesional seperti ini tidak saja diharapkan bekerja di sekolah formal tetapi melalui kekuatan digital yang dikuasai dapat menginspirasi lebih banyak orang. 

Dalam arti ini transformasi pendidikan harus dimulai dari menyiapkan guru-guru terbaik. Inilah gerakan sunyi yang mesti dilakukan. 

Guru-guru handal dengan persiapan dan jaminan hidup yang membuat mereka ‘enjoy’ mengabdi perlu menjadi pemikiran dan mengapa tidak menjadi resolusi dari muspas. 

Kedua, penataan sekolah dengan manajemen yang baik perlu menjadi prioritas. Itu berarti, KAK beada pada pilihan antara penguatan secara kuantitatif atau kualitatif. 

Secara kuantitas, kepemilikan 74 institusi pendidikan di bawah sebuah Yayasan tentu bukan hal yang mudah. 

Terbayang, bagaimana sebuah Yayasan harus bergulat antara tuntutan keadilan komutatif memperlakukan semua sekolah sama rata sama rasa, atau secara distributif memberikan perlakuan secara proporsional sesuai kontribusi dan kebutuhan? 

Inil pilihan yang tidak  mudah. Dalam kebanyakan kasus, institusi gereja dengan institusi yang terlalu banyak sebagai pengayom akhirnya lebih mengutamakan keadilan secara komutatif. 

Akibatnya yang terjadi, terjadi penurunan signifikan hingga membuat sekolah katolik tidak tampil beda dan malah ditinggalkan. 

Terhadap hal ini, pembenahan manajerial, pengelolaan sekolah yang lebih desentralitatif bisa menjadi sebuah pemikiran. 

Untuk hal ini, pemberian prioritas dalam pembenahan sekolah tertentu sebagai sekolah unggulan perlu menjadi kesadaran bersama dalam muspas. Sebaliknya ide fantastis menjadikan semua sekolah sebagai agen transformasi bisa saja kedengaran indah tetapi kerap gagap dalam praksis. 

Ketiga, komitmen jalan bersama sebagai subtema dalam muspas ini karena itu tidak bisa dipahami sekadar melakukan semuanya secara sama. 

Bila dipahami dalam arti ini maka analog anak kecil yang ingin memiliki semua balon yang ia lihat yang pada akhirnya tidak ada satupun yang ia genggam karena terlalu ingin memiliki semua. 

Demikian juga prioritas pada beberapa sekolah agar lebih fokus akan terasa lebih reaslistis. 
 
Jalan ke arah ini tentu tidak mudah. Mengutip penyair Spanyol, Antonio Machado, kalaupun belum ada jalan  dan  yang terbentang hanyalah hutan belantara, tetap saja berusaha berjalan karena lama kelamaan, jalur yang diindak berulang kali akan menjadi jalan. 

Harapan inilah yang coba dititipkan untuk peserta muspas untuk bersama meretas jalan inovatif yang bisa menjamin kesuksesan mencapai Indonesia Emas 2045. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved