Opini

Opini: Merayakan Preferensi Allah Pada Kaum Kecil

Satu setengah abad lalu pengalaman Maria itu dialami juga oleh Arnold Janssen, seorang anak petani dari Goch, Jerman, di perbatasan dengan Belanda. 

|
Editor: Dion DB Putra
TANGKAPAN LAYAR YT KATOLIK TV
Pastor Dr. Lukas Jua, SVD 

Kotbah pada saat perayaan syukur 150 Tahun SVD di Ledalero, 8 September 2025

Oleh: Dr. Lukas Jua, SVD
Mantan Provinsial SVD Ende; Dosen Kitab Suci di IFTK Ledalero Maumere, Flores

POS-KUPANG.COM - “Hai Betlehem, Efrata, hai yang terkecil di antara kaum-kaum Yehuda, dari padamu akan bangkit bagi-Ku seorang yang memerintah Israel” (Mi. 5:1).

Nubuat nabi Mikha ini mengungkapkan misteri panggilan orang beriman, bahwa panggilan itu adalah rahmat semata-mata yang dianugerahkan Tuhan kepada siapa saja yang berkenan kepada-Nya. 

Bahkan panggilan itu tidak terbatas pada bangsa terpilih, karena seorang raja asing dan penjajah seperti Nebukadnezar, raja Babel pun dipilih Tuhan sebagai alat-Nya untuk menjalankan hukuman edukatif terhadap bangsa terpilih yang tidak taat kepada-Nya.

Nebukadnezar malah diberi gelar “hamba-Ku” (Yer. 25:9) oleh Allah, sebuah gelar yang biasa diberikan hanya kepada para nabi dan orang-orang seperti raja Daud.

Baca juga: Provinsial SVD Timor: 150 Tahun SVD, Kisah Keberanian, Pengorbanan dan Kasih Allah

Meskipun siapa saja bisa dipilih Allah menjadi hamba-Nya, jelas dalam Kitab Mikha dan seluruh Kitab Suci bahwa Allah mempunyai preferensi bagi yang kecil. 

Dia tidak memilih Yerusalem atau Roma sebagai tempat lahir raja yang akan datang, tetapi Betlehem, kota kecil yang terletak 8 km dari Yerusalem. 

Demikian juga, perempuan yang dipilih untuk mengandung dan melahirkan raja itu bukanlah puteri Kaisar Agustus di Roma atau puteri raja Herodes Agung, melainkan seorang gadis desa yang sama sekali tidak dikenal di pusat-pusat kekuasaan di abad pertama. 

Lebih lagi, raja itu tidak dibesarkan dan dididik di kota Yerusalem, tetapi di Nasaret, kota kecil di wilayah Galilea, yang terletak di antara wilayah orang asing yang dianggap kafir dan wilayah Samaria, yang dianggap setengah kafir.

Raja itu tidak malu disebut sebagai orang Nasaret, desa yang menjadi sindiran masyarakat zaman-Nya: “Mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Nasaret?” (Yoh. 1:46). 

Dia pun tidak malu disebut anak tukang kayu, karena memang ayah-Nya tukang kayu dan Dia sendiri pun adalah tukang kayu; dan ketika Dia beralih profesi dari tukang kayu menjadi rabi, guru, Dia tidak memilih Yerusalem sebagai tempat untuk mendeklarasikan visi-Nya tentang kerajaan Allah, melainkan Galilea, wilayah pinggiran, di antara orang-orang yang disebut Mateus sebagai bangsa yang diam dalam kegelapan: “Bangsa yang diam dalam kegelapan telah melihat Terang yang
besar” (Mat. 4:16).

Preferensi Allah bagi orang kecil inilah yang sedang kita rayakan hari ini, yakni Hari Kelahiran Santa Perawan Maria. Terang yang besar itu memilih Maria menjadi ibu-Nya. 

Maria dan Yusuf, tunangannya, menerima kabar malekat tentang Terang itu dengan penuh iman, karena mereka percaya bahwa bagi Allah tidak ada yang mustahil. 

Rahmat panggilan yang luar biasa itu ditanggapi Maria dengan memuji Allah sambil berseru: “Jiwaku memuliakan Tuhan, dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku, sebab Ia telah memperhatikan kerendahan hamba-Nya” (Luk. 1:46-48).

Satu setengah abad lalu pengalaman Maria itu dialami juga oleh Arnold Janssen, seorang anak petani dari Goch, Jerman, di perbatasan dengan Belanda. 

Dia berbakat matematika, tetapi dia mengakui dengan rendah hati bahwa dia tidak terpanggil untuk menjadi misionaris di luar negeri, meskipun semangat misionernya tetap berkobar-kobar. 

Pertemuannya dengan Uskup Raimondi dari Hongkong sangat menentukan proses berdirinya SVD, karena Uskup menanggapi keberatan Arnold Janssen dengan mengatakan bahwa dia tidak harus pergi ke luar negeri sebagai misionaris, karena bekerja di negeri sendiri dengan mengorganisir dan memimpin sebuah seminari untuk misi di luar negeri juga merupakan suatu panggilan misioner (Bornemann, 1975: 47). 

Tanggapan Uskup ini begitu kuat menyentuhnya dan membuat dia yakin bahwa mendirikan sebuah rumah misi adalah kehendak Tuhan dari dia. 

Atas dasar ini, bagi Arnold Janssen berdirinya SVD dan kemudian SSpS serta SSpS AP adalah karya Allah, khususnya Allah Roh Kudus, bukan karyanya sebagai seorang manusia lemah.

Keyakinan akan peranan Roh Kudus dalam karya misi ini membuat Arnold Janssen tidak goyah menghadapi berbagai kesulitan, termasuk kesulitan finansial. 

Pendiri Kongregasi Misi Mill Hill yang datang dari Inggris mengunjungi Arnold Janssen di Steyl menulis kesannya tentang rumah misi itu: “Sebuah komunitas kecil yang miskin, ya, benar-benar miskin” (Bornemann, 1875: 78).

Kemiskinan awal ini sangat disadari oleh Arnold Janssen, maka dalam kotbah misa pembukaan rumah misi Steyl, 8 September 1875, dia berkata: 

“Jika seminari ini berhasil, maka kita akan bersyukur atas rahmat Allah. Jika gagal, maka dengan rendah hati kita akan menepuk dada dan
mengakui bahwa kita tidak layak bagi rahmat itu” (Bornemann, 1975:71).

Hari ini, 150 tahun sesudah kata-kata itu keluar dari mulut Arnold Janssen, kita bersaksi bahwa dia dan generasi pendiri telah dianggap layak oleh Tuhan untuk menerima rahmat itu, karena mereka memiliki iman yang kokoh kuat. 

Terang iman dalam diri Arnold Janssen dan para misionaris telah bersinar sampai ke Kepulauan Sunda Kecil atau Nusa Tenggara sekarang, karena Roh Kudus telah menggerakkan hati Arnold Janssen untuk mengirim misionaris SVD ke wilayah ini; meskipun hal ini baru terlaksana sesudah dia meninggal dunia. 

Pemilihan kepulauan ini sebagai wilayah misi SVD pada tahun 1912 merupakan tanda preferensi Allah bagi orang kecil, karena dari segi ekonomi wilayah ini sangat miskin, sehingga pemerintah Belanda pada
waktu itu tidak memperhatikannya. 

Justru wilayah yang termiskin, yang terluar, dan yang terabaikan ini dipilih Tuhan melalui Dewan Jendral SVD dan Propaganda Fide sebagai wilayah misi SVD, yang sebelumnya adalah wilayah misi Yesuit.

Hari ini kita patut bersyukur kepada Tuhan dengan nyanyian dan tarian gembira atas semua rahmat yang telah kita terima dari-Nya melalui para misionaris, bukan hanya melalui para misionaris SVD, melainkan lebih dulu melalui para misionaris Dominikan dan para misionaris
Yesuit; dan bukan hanya para misionaris imam, bruder dan suster, melainkan juga para misionaris awam. 

Melalui mereka kita telah menerima terang iman akan Yesus Kristus dan kita juga telah menerima terang ilmu melalui sekolah-sekolah yang mereka dirikan. 

Banyak misionaris perintis menjadi martir pada abad XVI-XVII, karena imannya. 

Beberapa martir dari Ordo Dominikan patut disebut namanya, yaitu P. Antonio Pestana, OP, martir pertama di Nusa Tenggara dan P. Simao das Montanhas, OP, martir P. Adonara; P. J. Travasso, OP, martir P. Solor; P. Jeronimo Mascarenhas, OP menjadi martir di dekat Ende (Jan S. Aritonang dan K. Steenbrink, 2008: 76-78).

Sedangkan para misionaris lain mati karena penyakit-penyakit tropis. Salah satu dari para misionaris ini ialah Mgr. Petrus Noyen, SVD peletak dasar misi SVD di Nusa Tenggara dan Uskup pertama Kepulauan Sunda Kecil. 

Semangat misioner yang berkobar-kobar telah membuat dia tanpa kenal lelah mengunjungi umat lewat laut, gunung dan lembah. 

Dia meninggal dunia pada hari dia seharusnya ditahbiskan menjadi Uskup, karena komplikasi penyakit-penyakit tropis. 

Darah para martir yang tertumpah di tanah kita dan tubuh mereka yang kembali ke tanah di wilayah kita telah menyuburkan iman dan panggilan sebagai imam, biarawan-biarawati dan awam di Nusa Tenggara. 

Kita juga masih menerima rahmat Tuhan melalui kongregasi-kongregasi religius yang masuk pada tahun-tahun terakhir ini ke Nusa Tenggara.

Rahmat dan rasa syukur kita itu sekaligus merupakan tanggung jawab yang besar. 

Kita yang telah menerima Terang yang besar itu dan terang ilmu dari para misionaris harus menjadi terang dunia. Injil Mat. 5:14-16 mengingatkan kita akan identitas kita. 

Pertama-tama, kita harus semakin menyadari bahwa kita adalah terang dunia. Kita berada di dunia, tetapi kita bukan dari dunia. Kedua, kita mempunyai misi di dunia. 

Sesudah menegaskan identitas kita, Yesus bersabda: “Hendaklah terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di surga” (Mat. 5:16). Inilah misi kita.

Tentu kita menyadari bahwa terang kita tidak sebenderang Terang yang besar itu. Terang kita sama seperti terang dian atau pelita, sehingga tema perayaan kita hari ini: “Menyala Dianku: Dari Ledalero untuk Semua!” 

Dalam Kitab Suci sabda Tuhan diumpamakan dengan pelita dan terang: “Firman-Mu adalah pelita bagi langkahku dan terang bagi jalanku” (Mzm. 119:105). 

Jika kita mau agar pelita kita tetap menyala, maka kita harus mengisinya dengan minyak yang cukup.

Minyak itu kita temukan melalui kesetiaan membaca dan merenungkan sabda Tuhan dalam Kitab Suci. 

Orang yang setia membaca dan merenungkan Kitab Suci tanpa sadar perlahan-lahan akan diubah oleh sabda Allah dan akan bercahaya melalui tutur kata yang sopan serta sikap yang lemah-lembut dan hormat kepada sesama.

Namun, tidak cukup hanya merenungkan sabda Allah dalam Kitab Suci, karena sabda Allah ditemukan juga di dalam orang miskin. 

Terang yang besar itu mengidentifikasikan diri-Nya dengan orang yang paling hina dan orang yang dianiaya. 

Karena itu, kalau kita mau agar terang kita tetap bercahaya kita harus sering berdialog dengan orang miskin. 

Mereka akan mewartakan sabda Tuhan kepada kita, tanpa perkataan, melalui perjuangan hidup mereka. 

Misi kita di masa yang akan datang ditentukan oleh kedua hal di atas, yaitu keberakaran dalam Sang Sabda dan kerasulan bagi kaum miskin.

Akhirnya, marilah kita bersyukur kepada Tuhan, karena Terang yang besar telah bersinar di antara kita melalui kesaksian St. Arnold Janssen dan para misionaris yang mendahului kita baik imam, biarawan, biarawati maupun awam. Kita bersyukur atas segala rahmat yang telah kita
terima dari Tuhan. 

Selain bersyukur, mari kita membarui komitmen kita untuk melanjutkan karya misi yang telah dirintis oleh para pendahulu kita dengan semangat yang berkobar-kobar, dengan kesetiaan dan dengan kreativitas. 

Jika dian kita sudah pudar atau berkedip-kedip dan hampir padam, kita harus mengisinya dengan minyak secara teratur, agar dian kita tetap menyala. Tuhan yang memilih dan mengutus kita pasti akan menyertai kita. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved