Opini
Opini: Anomali Tunjangan Pajak DPR RI, Sebuah Refleksi Keadilan Fiskal
Hitungan secara matematika, kurang lebih Rp19 miliar pajak per tahun bagi 580 orang DPR akan ditanggung oleh rakyat.
Namun, keabsahan hukum tidak serta merta menjamin keabsahan moral dan rasa keadilan publik.
Dimensi Ketidakadilan Sistemik
1. Diskriminasi Pajak Berdasarkan Status
Fenomena ini menciptakan dua kelas wajib pajak: rakyat biasa yang pajaknya dipotong dari penghasilan, dan elit politik yang pajaknya dibayarkan negara.
Sebanyak 580 anggota DPR dari 38 provinsi menikmati privilege ini, sementara rakyat yang mereka wakili menanggung beban pajak secara normal, bahkan ikut membiayai pajak wakil rakyat mereka sendiri melalui APBN.
2. Pemborosan Fiskal yang Tidak Rasional
Dengan 580 anggota DPR yang masing-masing menerima tunjangan PPh sekitar Rp 2,7 juta per bulan, negara mengeluarkan sekitar Rp 19 miliar per tahun hanya untuk membayar pajak para wakil rakyat.
Dana ini sebenarnya bisa dialokasikan untuk program yang lebih produktif seperti pendidikan, kesehatan, atau infrastruktur.
3. Kontradiksi Filosofis Perpajakan
Pajak hakikatnya adalah kontribusi wajib rakyat untuk membiayai penyelenggaraan negara.
Ketika negara justru membayar pajak para penyelenggaranya, terjadi kontradiksi filosofis yang mendasar.
Rakyat tidak hanya membiayai gaji pejabat, tetapi juga ikut menanggung kewajiban pajak mereka.
Implikasi Terhadap Kredibilitas Reformasi Pajak
Pemerintah saat ini sedang gencar melakukan reformasi pajak untuk meningkatkan kepatuhan dan penerimaan.
Namun, bagaimana pemerintah bisa meyakinkan rakyat untuk taat pajak ketika para elit politik justru mendapat perlakuan istimewa?
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.