Opini

Opini: Merdeka Belajar di Tengah Cengkeraman Algoritma

Editor: Dion DB Putra
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Petrus Redy Partus Jaya

Sekilas terlihat demokratis karena semua orang bebas mengakses, namun sejatinya ia menciptakan ketergantungan dan ketidakbebasan yang baru. 

Kita tidak lagi memilih apa yang ingin kita pelajari; kita diarahkan untuk menyukai apa yang sistem rekomendasi suguhkan.

Bayangkan seorang siswa SMA yang mencari referensi tentang sejarah Indonesia, tetapi yang muncul pertama justru konten infotainment sejarah populer yang belum tentu akurat. 

Atau guru yang menggunakan media sosial sebagai sumber materi ajar tanpa disadari bahwa informasi tersebut telah disesuaikan oleh sistem untuk memancing interaksi, bukan untuk menyampaikan kebenaran.  Di sinilah algoritma bukan lagi alat bantu, melainkan penentu arah belajar.

Merdeka yang Disusupi Logika Pasar

Kata “merdeka” dalam pendidikan hari ini sering dirayakan dalam jargon-jargon: merdeka belajar, kurikulum merdeka, guru merdeka. 

Tapi jika tidak dibarengi dengan kesadaran kritis, konsep merdeka ini bisa justru menjadi penutup dari proses penjajahan baru yang tak kasatmata. 

Logika pasar yang dibungkus dalam teknologi digital perlahan merasuk ke dalam ruang-ruang pembelajaran. Sekolah-sekolah merasa harus eksis di media sosial agar dianggap relevan. 

Guru dituntut menjadi konten kreator agar disukai murid. Anak-anak belajar karena “asik”, bukan karena ingin memahami. 

Proses pembelajaran lalu bertransformasi menjadi kontestasi visual dan daya tarik semu, bukan pendalaman makna.

Dalam situasi seperti ini, pendidikan kehilangan daya kritisnya. Ia tidak lagi menjadi arena pembebasan, melainkan ajang reproduksi selera yang ditentukan oleh selera pasar. 

Padahal pendidikan seharusnya membebaskan manusia dari kebodohan, dari ketundukan terhadap sistem yang tidak adil, dan dari segala bentuk manipulasi informasi.

Alih-alih membantu anak menjadi subjek pembelajaran yang utuh, sistem digital justru menjadikan mereka sebagai objek dari perhitungan klik dan algoritma. 

Siswa bukan lagi dilatih untuk memilih secara kritis, melainkan untuk menyukai secara impulsif. Ini adalah bentuk kolonialisme yang bekerja bukan dengan senjata, melainkan dengan personalisasi konten dan push notification.

Pendidikan untuk Kesadaran Kritis

Halaman
123

Berita Terkini