Selain mahir dalam memahami, menulis serta berbicara menggunakan bahasa lokal dan bahasa Indonesia yang baik dan benar, Pater Wolters juga menguasai lagu-lagu rakyat Loura.
Rekan Pater Wolters yang juga berkarya di Sumba kala itu, Bruder Arnold Streng, SVD memberikan kesaksian, “Pater Jan Wolters luar biasa dapat bergaul dengan orang-orang. Ia sangat dicintai.
Ia juga dapat belajar bahasa dengan cepat dan menggunakan dengan baik bahasa Sumba. Ia mempunyai bakat menyanyi. Dalam waktu yang singkat ia mampu menyanyikan lagu-lagu Sumba bersama mereka”.
Pater Wolters adalah sang poliglot, yakni seorang yang mampu berbicara, menulis, dan membaca lebih dari satu bahasa asing.
Seorang poliglot tidak hanya menguasai bahasa, tetapi juga seringkali memiliki pemahaman mendalam tentang budaya dan kebiasaan orang-orang yang menggunakan bahasa tersebut.
Selama berkarya di Sumba, salah satu kegiatan Pater Wolters adalah memberikan bimbingan rohani berupa retret kepada orang-orang muda, para guru, dan murid-murid pada sekolah serta asrama milik misi Katolik.
Ia memberikan materi bimbingan dengan menggunakan bahasa Indonesia yang lugas dan dapat dipahami. Alhasil, orang-orang mengalami kesegaran dan semangat iman yang luar biasa setelah mengikuti retret.
Dalam catatan sejarah disebutkan bahwa sebuah majalah dengan nama Bintang Timur memberitakan pada saat itu, “Banyak dari pemuda-pemuda itu, juga karena rumahnya jauh, kadang-kadang satu tahun lebih tidak pergi ke gereja. Tetapi sesudah retret, banyak yang lalu pada hari Minggu rajin pergi ke gereja di Weetebula”.
Pendiri Sekolah dan Guru yang Profetis
Sejak tiba pertama kali di Sumba, Pater Wolters melakukan terobosan-terobosan karya misi dalam bidang pendidikan.
Ia berkontribusi dalam mendirikan sekolah-sekolah baru, mendidik para katekis, dan memperbaharui peraturan asrama sekolah di Weetebula.
Meskipun Pater Wolters adalah seorang misionaris asal Belanda, tetapi sekolah-sekolah yang berada dalam pengawasannya tidak terkooptasi dengan kepentingan Pemerintah Hindia Belanda.
Ia mendirikan beberapa Sekolah Rakyat (baca: Sekolah Dasar) di wilayah itu. Sebagian besar murid adalah anak-anak di beberapa kampung yang terletak di pelosok Sumba bagian barat. Mereka belajar membaca, menulis, dan menghitung.
Kelak, para murid tersebut adalah generasi awal yang mengisi kemerdekaan Republik Indonesia setelah Proklamasi dibacakan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Salah satu sekolah yang mengalami kemajuan signifikan setelah ditangani oleh Pater Wolters adalah Vervolgschool di Weetebula.