Pengamat Hukum Unwira: Autopsi Bukan Sekadar Prosedur Medis Tetapi Alat Bukti Ilmiah 

Editor: Sipri Seko
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

PIDANA - Pengamat Hukum Unwira Kupang, Mikhael Feka,S.H,.M.H.

Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Maria Selfiani Baki Wukak 

POS-KUPANG.COM,KUPANG - Pengamat hukum pidana dari Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang, Mikael Feka, SH, MH menyebut autopsi jenazah bukan hanya sekedar prosedur medis semata tetapi alat bukti ilmiah yang objektif dan dapat membongkar fakta sebenarnya di balik kematian seseorang.

"Sebagai pengamat hukum, autopsi adalah prosedur medis yang memilki nilai strategis dalam proses penegakan hukum, khusunya tindak pidana yang mengakibatkan kematian. Autopsi bukan hanya sekedar prosedur medis tetapi alat bukti ilmiah yang objektif dan dapat membongkar fakta sebenarnya di balik kematian seseorang," katanya. 

Ia menambahkan, dalam konteks hukum pidana, autopsi dapat membantu mengungkap penyebab kematian, waktu kematian, jenis kekerasan, dan kaitannya dengan peristiwa pidana.

Menurutnya, tanpa autopsi pembuktian sering kali lemah dan bergantung pada keterangan saksi atau dugaan yang sifatnya subjektif. 

Ia juga menyampaikan bahwa pentingnya autopsi dapat dilihat dari beberapa aspek yakni aspek pembuktian yang menyebut hasil autopsi merupakan keterangan ahli yang menjadi salah satu jenis alat bukti sah menurut pasal 184 KUHAP.

Saat dihubungi reporter POS-KUPANG.COM, Selasa (12/8), Mikael juga menyebutkan aspek-aspek lainnya seperti menghindari salah tuduh karena autopsi dapat memastikan penyebab  kematian murni karena sakit, kecelakaan, atau akibat tindak pidana, mengungkap modus dan pelaku, dan memenuhi asas kepastian hukum.

Ia juga menjelaskan autopsi dapat dilakukan oleh penyidik meskipun tanpa persetujuan keluarga.

"Secara hukum, ya, penyidik dapat melakukan otopsi tanpa persetujuan keluarga dalam kasus kematian yang diduga sebagai tindak pidana. Dasar hukumnya terdapat dalam pasal 134 KUHAP yang berisikan penyidik untuk kepentingan peradilan memandang perlu dilakukan bedah mayat, penyidik wajib memberitahukan kepada keluarga terlebih dahulu, namun dalam dua hari tidak ada tanggapan penyidik dapat melaksanakan bedah mayat tersebut," ungkapnya.

Selain diatur dalam pasal 134 KUHAP, ia juga menyampaikan bahwa aturan diatur  dalam pasal 133 ayat (1) KUHAP yang bertulis penyidik berwenang meminta keterangan ahli kedokteran, kehakiman atau dokter lainnya dalam hal diperlukan untuk kepentingan peradilan.

Ia juga menyebutkan bahwa untuk penyidikan militer, kewenangan autopsi ini juga diatur dalam UU No 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dan tetap merujuk pasa KUHAP sebagai hukum acara pidana, artinya persetujuan keluarga adalah etika dan bentuk penghormatan tetapi bukan syarat mutlak jika kematian diduga terkait tindak pidana.

Mikael menambahkan jika autopsi tidak dilakukan maka kemungkinan akibat pada proses hukum dan akan ada resiko yang muncul antara lain pembuktian lemah yang membuat penyebab kematian menjadi tidak pasti sehingga dakwaan jaksa bisa mudah dipatahkan di persidangan, potensi impunitas yakni pelaku bisa bebas karena alat bukti utama (hasil visum et repertum lengkap) tidak ada.

Selain itu juga resiko lainnya seperti spekulasi dan kontroversi yakni tanpa bukti ilmiah, proses hukum rentan dipengaruhi opini publik atau tekanan kelompok tertentu dan kasus tidak dapat dilanjutkan yakni penyebab kematian tidak bisa dipastikan, penyidik bisa menghentikan perkara (SP3) karena bukti tidak cukup. (ria)

 

 

 

Baca berita POS-KUPANG.COM lainnya di GOOGLE.NEWS

Berita Terkini