Opini

Opini: Imunitas Advokat Antara Perlindungan Profesi dan Kekebalan yang Mengancam Keadilan

Editor: Dion DB Putra
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Heryon Bernard Mbuik

Dalam laporan tahunan Komnas HAM (2022), salah satu keluhan terbesar dari saksi dan korban adalah perlakuan intimidatif di ruang sidang, baik oleh aparat penegak hukum maupun oleh kuasa hukum pihak lawan.

Dalam posisi ini, hak imunitas yang tidak terawasi bisa menjadi senjata yang mengintimidasi alih-alih membela. Apalagi tidak semua advokat menjunjung tinggi kode etik. 

Laporan Dewan Kehormatan PERADI (2023) mencatat lebih dari 300 pelanggaran etik sepanjang tahun, banyak di antaranya berkaitan dengan pernyataan tidak pantas di ruang sidang.

Kita tentu tidak ingin ruang pengadilan sebagai simbol keadilan berubah menjadi panggung adu kekuasaan, di mana pihak dengan kuasa hukum terkuat bisa menekan siapa pun yang berbeda suara.

Solusi: Batasi, Awasi, dan Didik

Alih-alih mencabut pasal imunitas yang memang penting untuk keberanian advokat dalam membela klien pemerintah dan DPR seharusnya:

  • Membuat peraturan pelaksana (PP atau Perma) yang menjelaskan dengan rinci apa yang dimaksud dengan “itikad baik”, dan bagaimana menilainya secara objektif.
  • Menguatkan peran Dewan Kehormatan Organisasi Advokat agar bisa melakukan penyelidikan cepat jika ada dugaan pelanggaran etik yang dilindungi dalih imunitas.
  • Memasukkan pendidikan etik hukum yang mendalam dalam kurikulum pendidikan advokat dan pelatihan profesi.
  • Memberikan hak jawab dan perlindungan hukum kepada saksi, korban, atau pihak lain yang dirugikan oleh pernyataan advokat di pengadilan.

Penutup: Imunitas Bukan Impunitas

Hukum adalah alat untuk keadilan, bukan tameng bagi kekuasaan. Ketika seorang advokat berbicara dalam ruang sidang, ia membawa suara hukum, bukan sekadar suara klien. 

Maka hak imunitas harus dimaknai sebagai jaminan kebebasan untuk membela dengan tanggung jawab, bukan kebebasan untuk menyerang tanpa batas.

Jika kita ingin sistem peradilan kita bermartabat, maka profesi advokat harus mulia tidak hanya dalam haknya, tetapi juga dalam etikanya. 

Dalam hal ini, itikad baik tak bisa dibiarkan menjadi frasa kosong. Ia harus hidup dalam peraturan, diawasi oleh mekanisme, dan dipelihara dalam nurani profesi. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News

 

 

Berita Terkini