Perlindungan atau Kekebalan?
Sebenarnya, hak imunitas bukanlah barang baru. UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat juga mencantumkan ketentuan serupa dalam Pasal 16.
Namun KUHP dan RKUHAP kini mengangkatnya ke dalam struktur hukum pidana dan acara pidana nasional, menjadikannya bagian dari sistem hukum utama, bukan sekadar lex specialis.
Pertanyaannya, apakah imunitas yang diberikan itu benar-benar untuk melindungi profesi dari intimidasi hukum, atau justru akan menjadi alat legal untuk melontarkan tudingan, fitnah, bahkan ujaran tidak berdasar dalam ruang sidang tanpa takut dituntut?
Dalam praktik pengadilan, sangat mungkin terjadi kasus di mana advokat melempar tuduhan kepada saksi, menyudutkan korban, atau bahkan menyerang pribadi jaksa dan hakim, lalu berlindung di balik pasal imunitas.
Jika tidak ada mekanisme etik yang ketat, maka itikad baik hanya akan menjadi frasa basa-basi yang sulit dibuktikan.
Bandingkan dengan Negara Lain
Dalam sistem hukum lain seperti Belanda dan Australia, hak imunitas advokat juga diakui, tetapi dengan batasan ketat.
Di Australia, High Court dalam kasus Giannarelli v. Wraith (1988) menegaskan bahwa imunitas advokat diberikan bukan untuk melindungi individunya, tetapi untuk menjaga proses peradilan agar berjalan efisien dan adil.
Imunitas tidak menghapus tanggung jawab etik atau profesional.
Di Inggris, qualified privilege berlaku: advokat tidak bisa digugat atas pernyataannya dalam sidang, selama ia bertindak profesional dan dalam konteks pembelaan yang wajar.
Ketika melampaui itu misalnya membuat pernyataan fitnah yang disengaja advokat tetap bisa dikenai sanksi etik bahkan pidana.
Mengapa Indonesia malah bergerak ke arah yang lebih longgar?
Risiko terhadap Keadilan Substantif
Ada risiko besar bila hak imunitas advokat tidak diimbangi oleh akuntabilitas etik.