Bukan sekadar seremoni, melainkan wadah terbuka bagi pertarungan ide, menghadirkan aktivis, komunitas adat, perempuan korban trafficking, pelaku bisnis, dan birokrat progresif.
Kedua, dalam perencanaan dan penganggaran, penting menghadirkan mekanisme deliberasi yang benar-benar terbuka: citizen assembly, public hearing yang partisipatif, dan platform daring yang memungkinkan keterlibatan luas.
Ketiga, dalam reformasi birokrasi, Pemda dan KASN perlu membangun proses pengisian jabatan yang terbuka, akuntabel, dan diawasi publik — tidak sekadar arena kompromi elite.
Keempat, dalam penanganan isu substantif seperti stunting, perdagangan manusia, dan kemiskinan ekstrem, perlu dibangun koalisi multi-aktor yang berani menghadirkan perspektif beragam, bukan hanya mengulang program pusat secara normatif.
Dengan mengadopsi politik agonistik, NTT bisa mulai mengubah kultur politik yang terlalu akomodatif dan elitis, menjadi lebih pluralis, demokratis, dan transformatif.
Penutup
NTT berada di titik krusial. Wicked problems yang dihadapi tak bisa diselesaikan dengan politik nyaman atau harmoni yang semu.
Kebijakan publik berperspektif agonistik menawarkan jalan baru: mengelola perbedaan secara produktif, membuka ruang bagi pemikiran kritis, dan memperkuat tata kelola yang benar-benar demokratis.
Kini, pilihan ada di tangan kepala daerah NTT: bertahan dalam ilusi harmoni atau berani melangkah menuju politik agonistik yang lebih berani, jujur, dan transformatif. Seperti ditegaskan Mouffe, “Conflict, when acknowledged and managed, can be a driving force of democratic renewal.” (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News