Ia menulis, “Without the possibility of genuine dissent, there is no democracy worthy of its name.”
Dalam kebijakan publik, pendekatan ini berarti bahwa perbedaan nilai, kepentingan, dan identitas harus diakui dan dikelola secara terbuka.
Proses perumusan kebijakan tak boleh hanya menjadi forum formal yang memoles ketegangan; ia harus menjadi arena pertarungan ide yang sah, transparan, dan inklusif.
NTT, dengan keberagaman etnis, agama, dan struktur sosial yang kuat, justru akan sangat diuntungkan bila mengadopsi paradigma ini.
Politik harmoni semu terlalu sering menjadi alasan menyingkirkan suara minoritas, mengabaikan kelompok rentan, dan mempertahankan oligarki lokal.
Mengapa Wicked Problems Butuh Politik Agonistik?
Wicked problems seperti kemiskinan, stunting, perdagangan manusia, dan reformasi birokrasi, bersifat kompleks, multidimensi, dan sarat konflik nilai.
Seperti ditulis Horst Rittel dan Melvin Webber (1973), wicked problems, yakni suatu masalah tidak pernah sepenuhnya terdefinisi, tak memiliki solusi final, dan melibatkan konflik antaraktor dan antaragenda.
Dalam penanganan perdagangan manusia, misalnya, ada konflik antara kepentingan ekonomi keluarga migran, norma budaya adat, dan hak asasi manusia.
Di isu stunting, perdebatan antara pendekatan medis, pola asuh keluarga, dan kondisi kemiskinan struktural kerap menciptakan kebuntuan kebijakan.
Politik agonistik membantu kita menghadapi kenyataan ini secara jujur. Alih-alih memaksakan konsensus kosong di balik forum formal, kepala daerah mesti membuka ruang deliberatif yang agonistik — tempat perbedaan diakui dan dikelola.
Dalam isu reformasi birokrasi, merit system hanya akan hidup jika proses seleksi terbuka pada pengawasan publik dan kritik. Selama pengisian jabatan dikemas dalam politik harmoni elite, meritokrasi hanya akan menjadi retorika.
Lebih jauh, seperti diingatkan Hannah Arendt, “The meaning of politics is freedom.” Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan untuk menampilkan perbedaan di ruang publik, bukan untuk menutupinya demi kenyamanan semu.
Menuju Tata Kelola Demokratis dan Berani
Lantas, bagaimana kepala daerah NTT dapat mengadopsi paradigma ini? Pertama, forum-forum kebijakan di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota perlu diubah menjadi arena deliberatif agonistik.