Kami menanti penjelasan tentang bagaimana pendidikan dan kesehatan hendak diperjuangkan dalam skema anggaran yang terbatas tapi strategis.
Jangan hanya tampil sebagai wajah partai atau simbol elektoral. Jadilah wajah rakyat. Jadilah suara nalar. Jadilah cermin harapan.
Lemah Kebijakan
Fenomena yang terjadi ini bukan sekadar persoalan komunikasi atau selera media sosial.
Ini adalah gejala dalam-dalam dari siklus kejumudan demokrasi yang tak kunjung diputus. Sebuah siklus yang berjalan seperti ini:
- Rakyat yang minim literasi politik dan kebijakan akan memilih berdasarkan uang, kedekatan, dan visual belaka.
- Politisi yang tidak dibekali ide dan narasi cenderung menampilkan gaya di media sosial untuk menambal kekosongan visi.
- Media sosial berubah dari ruang partisipasi menjadi ruang ilusi memberi dampak rakyat tidak memperoleh pendidikan publik yang mencerahkan.
- Kebijakan akhirnya disusun secara tertutup, tanpa diskursus terbuka dan karena itu tidak mengherankan kualitasnya rendah, dampaknya dangkal.
- Masalah-masalah publik tetap menganga dan rakyat kecewa, tetapi bingung siapa yang layak dimintai pertanggungjawaban.
- Dan akhirnya, siklus ini terulang di pemilu berikutnya, dengan aktor yang sama, gaya yang sama, dan narasi yang tetap kosong.
Di tengah siklus itu, anggota legislatif tetap berkonten—dengan jingle baru, filter estetis, dan caption motivatif—tapi tanpa gagasan yang bisa menjawab tantangan zaman.
Layar mungkin terang, tapi isi kepala tetap gelap. Ini bukan sekadar ironi. Ini tragedi demokrasi lokal yang makin kehilangan substansi.
Jika tidak segera dihentikan, maka kursi-kursi parlemen kita akan berubah menjadi panggung kosong yang hanya diisi tepuk tangan sesaat, bukan sejarah perubahan yang berarti.
Wakil Rakyat Harus Jadi Wakil Nalar
Jika ruang publik adalah panggung, maka jangan biarkan itu dipenuhi hanya oleh koreografi badan. Rakyat menanti koreografi ide.
Jika kursi DPRD itu adalah mimbar, maka bukan tepuk tangan yang kami tunggu, tapi suara yang bernalar dan bertanggung jawab.
Seperti dikatakan Bung Hatta: “Indonesia merdeka bukan untuk kaum politikus, tapi untuk seluruh rakyat.”
Maka, para legislator di Sabu Raijua, berhentilah bersolek di layar, dan mulailah bersentuhan dengan realitas.
Sebab kelak, sejarah tidak mencatat siapa yang paling viral, tapi siapa yang paling berani berpikir di tengah gelapnya keadaan. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News