Politik elektoral kita—terutama di daerah—lebih menyerupai pasar malam: ramai, gaduh, dan penuh permainan ilusi.
Dalam pasar itu, yang dibeli adalah suara, bukan kesadaran. Maka yang dijual pun bukan ide, tapi amplop, sembako, dan selfie.
Money politik bukan hanya disebabkan oleh kemiskinan rakyat, tapi juga oleh kemiskinan pemikiran wakil rakyat.
Mereka tidak hanya gagal memerdekakan rakyat dari lapar, tapi juga gagal memerdekakan pikiran rakyat dari kebodohan struktural.
Seperti dikatakan Soe Hok Gie, “Orang yang tidak mengerti persoalan rakyat, tidak layak menjadi wakil rakyat.”
Tapi kini tampaknya menjadi wakil rakyat justru diisi oleh mereka yang sangat mahir menunggangi ketidaktahuan rakyat—dan tentu, algoritma TikTok.
Ruang Publik yang Hilang
Dalam demokrasi sehat, ada ruang publik tempat ide beradu, bukan sekadar adu gaya. Sayangnya, ruang publik itu kini dipenuhi noise, bukan voice.
Kita tidak sedang mendengar gagasan, melainkan menonton pertunjukan narsistik politisi yang sedang mencari engagement.
Padahal, seharusnya media sosial menjadi extension of deliberative space — ruang digital tempat publik memahami, mengkritisi, dan memberi masukan terhadap kebijakan.
Tapi siapa yang membangun ruang itu? Bukan DPRD. Mereka tidak hadir. Mereka hanya posting dokumentasi, bukan argumentasi.
Ketika rakyat bertanya, "Kenapa anggaran penanggulangan bencana berkurang tahun ini? Yang dijawab malah: "Silakan follow akun saya, dan jangan lupa like ya."
Demokrasi Tanpa Pendidikan Publik
John Dewey, filsuf pendidikan demokrasi, pernah berkata: “Democracy must be
reborn in every generation, and education is its midwife.”
Tapi di sini, demokrasi kita justru dimatikan oleh para wakil rakyat yang membenci pendidikan gagasan.