Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Irfan Hoi
POS-KUPANG.COM, KUPANG -Perempuan dan Anak di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) diminta untuk tidak diam bila mengalami kekerasan seksual dan fisik.
Perempuan dan anak harus berani berbicara dengan siapapun bila mengalami tindakan tidak mengenakan ketika berada dimanapun.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Provinsi NTT, Ruth Laiskodat mengatakan, kekerasan seksual belum banyak yang memahami secara utuh.
Padahal, kekerasan itu bahkan terjadi tidak hanya pada bagian berhubungan tetapi juga pada bagian fisik seseorang. Ruth menyebut itu sebagai pelecehan seksual fisik.
"Kadang orang berpikir kekerasan seksual itu berkaitan dengan berhubungan. Pelecehan seksual fisik itu saya lihat, anak-anak muda perempuan, termasuk pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan perkawinan anak," ujarnya dalam dialog interaktif yang digelar Pemuda Katolik Kota Kupang dan Kaya Tene, Jumat (30/5/2025) di Resto Celebes Kota Kupang.
Baca juga: Ciptakan Kampus Aman dari Kekerasan Seksual, UKAW Berkolaborasi dengan LBH APIK NTT
Ruth mengatakan, jika ada pemaksaan perkawinan anak, korban disarankan agar bisa melaporkan ke pemerintah.
Kadangkala juga kekerasan dalam rumah tangga pun dianggap hal wajar karena banyak orang yang melihat itu urusan orang yang bersangkutan.
"Ada satu dua budaya, katanya sudah belis, kuasa sepenuhnya ada pada suami. Aturan bilang bahwa tidak boleh ada kekerasan," kata dia dalam dialog bertajuk" Perempuan dan Anak Butuh Aman, Kita Wujudkan".
Dia mengatakan, biasanya kekerasan juga terjadi karena sikap diam terhadap kekerasan dan pelecehan.
Sebetulnya, tidak boleh diam kalau terjadi hal ini. Perlu ada sikap partisipatif dari korban agar bisa diketahui ke publik.
Paling penting, kata dia, di sekolah harus membentuk sekolah ramah anak. Tempat ibadah juga demikian. Begitupun di semua tempat lainnya harus ramah terhadap anak-anak dan perempuan.
Baca juga: Istri Gubernur NTT Minta Komnas HAM Kawal Kasus Kekerasan Seksual eks Kapolres Ngada
Dengan begitu maka, wilayah itu bisa dikatakan ramah dan layak anak. Sekalipun sulit dilakukan, namun langkah ini bisa diwujudkan. Sikap diam terhadap pelecehan, diakibatkan karena berbagai faktor.
"Yang jadi itu sedih perempuan diam. Dia berpikir bahwa ini budaya kita, ini membuat malu, saya bisa diceraikan. Perempuan dan anak berdaya untuk meyakini diri, dimana dia berada, dia harus aman," ujarnya.
Ruth mengatakan, Pemerintah ataupun Kepolisian tidak bisa bekerja sendiri. Ruth menyebut anak-anak NTT harus diberdayakan agar memiliki masa depan yang lebih baik. Pendampingan menjadi bagian penting dalam mengenai masalah ini.
Ketua LPA NTT Veronika Ata mengatakan, salah satu budaya sering menomorduakan anak dan perempuan. Dia menjelaskan, banyak anak yang didik tanpa rotan pun bisa menjadi anak yang baik.
Veronika Ata mengungkit perihal slogan "diujung rotan ada emas". Makna pernyataan ini pada era seperti sekarang tidak lagi berlaku.
Sebab, aturan sudah membuat hal itu agar tidak lagi terjadi, terutama terjadinya potensi kekerasan.
Baca juga: Webinar GMNI Kupang Soroti Darurat Kekerasan Seksual di NTT
"Jangan sampai kemudian bahwa, biasanya cari kami di mediasi. Kalau ada kekerasan berat, memang tahapan harus dipidana," katanya.
Dua berkata, dalam undang-undang TPKS kini terbuka lebih luas. Saksi tidak harus dua orang, namun perlu ada kelengkapan lain seperti surat visum maupun bukti elektronik lainnya.
Dalam undang-undang juga mengatur, bila seseorang menghalangi ataupun upaya mediasi proses hukum, orang itu bisa dipidana dengan ancaman kurungan lima tahun pidana. Aturan ini menekankan pada kekerasan seksual.
Dia mengatakan, bila pelaku kekerasan seksual itu seperti aparat penegak hukum, guru dan lainnya maka perlu pemberatan terhadap pelaku itu.
LPA NTT selama ini terus melakukan upaya pencegahan terhadap ancaman kekerasan seksual hingga penanganan dan rehabilitasi korban.
"Kami berjuang saat ini tiga anak yang menjadi korban kekerasan seksual oleh eks Kapolres Ngada," kata Veronika Ata.
Baca juga: Komnas HAM Dorong Penegakkan Hukum yang Adil bagi Korban Kekerasan Seksual Eks Kapolres Ngada
Kanit PPA Polda NTT AKP Fridinari D. Kameo, mengatakan semua tempat harus aman dari anak dan perempuan. Rumah hingga kampus harus menjadi area paling aman untuk perempuan dan anak.
Selain itu, pengajaran atau edukasi tentang kekerasan seksual juga perlu disampaikan kepada anak-anak.
"Pendidikan seks sejak dini itu penting. Kalau anak-anak yang cerewet, biarkan berekspresi sehingga kalau ada apa-apa mereka bisa berbicara," kata dia.
Dia mengaku menjadi saksi dalam kasus eks Kapolres Ngada. Polda NTT, lanjut Kameo, juga tidak berhenti untuk melakukan sosialisasi dan edukasi.
Bagi korban, ia berharap agar menyampaikan ke orang terdekat ataupun pihak berwenang.
Dia menyinggung juga mengenai ingkar janji menikah. Kasus ini seringkali menimpa anak-anak muda. Kepolisian memiliki tahapan untuk menangani persoalan semacam ini bila ada yang mengadu.
Baca juga: Komisi III DPR Minta Agar Mantan Kapolres Ngada Dijerat UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual
"Kami kesulitan menghadapi ini. Bukan berarti ini (jadi tidak bisa) kami punya tahapan sendiri," kata dia.
Ia menyebut, dalam beberapa kasus memang ada korban yang tidak melapor karena ada ancaman.
Setiap orang memiliki jiwa atau psikologi tersendiri saat menghadapi suatu masalah.
Dia mendorong agar korban segera menyampaikan itu ke keluarga ataupun teman dekat agar dilakukan penanganan dan direhabilitasi ataupun dilakukan tindakan lebih jauh. (fan)
Ikuti Berita POS-KUPANG.COM lainnya di GOOGLE NEWS