Tidak diragukan lagi bahwa percepatan, ketergesaan, dan perintah persaingan pasar neoliberal elah memperburuk gejala ketidakbahagiaan, dan meningkatkan kecemasan berlebihan masyarakat kita.
Kita coba keluar dari rumah kita, masuk ke restoran dan televisi menyiarkan berita tengah hari, bahkan berita yang tidak ingin kita dengar. Tv, koran, dan media sosial berbicara banyak tentang gambaran inflasi, perang, dan ketakutan.
Di mobil-mobil terdengar musik DJ, Remix, yang dibunyikan secara keras bercampur dengan klakson taksi, dengan sirene polisi atau ambulance, serta pekerja konstruksi yang memperbaiki jalan raya.
Saya beli maka saya ada
Kita terburu-buru untuk mendapatkan lebih banyak notifikasi, lebih banyak pembelian, lebih banyak pengikut, lebih banyak suka, lebih banyak komentar, lebih banyak pujian di media sosial.
Lebih banyak, lebih banyak, selalu lebih banyak dari segalanya, karena moto masyarakat konsumsi sekarang: Saya beli maka saya ada. Namun, pengejaran segalanya dibangun di atas jurang.
Kapitalisme digital menciptakan kebisingan dan mengacaukan keheningan. Masyarakat terbiasa dengan kebisingan yang mengusirnya dari diri sendiri, rasanya aneh menemukan dan berpikir tentang diri sendiri, tetangga, dan proyek kehidupan yang lebih manusiawi.
Di pinggiran jalan dan di media sosial, kita menemukan begitu banyak papan iklan, resep medis, pengobatan yang murah dan, bunga-bunga, hiasan dinding, dengan pikiran kita seperti di cermin, kuku dan wajah yang dirias, model dan merek pakaian ternama, dan seterusnya.
Orang-orang yang lewat di depan kita juga merupakan bagian dari promotor atau pengiklan produk-produk baru, sehingga kita selalu terpancing untuk membeli, mempunyai, dan memiliki lebih dari yang mereka punya.
Kita juga termasuk promotor dan pengiklan gratis dari produk-produk kapitalisme neoliberal yang tidak pernah gratis itu.
Saya ribut maka saya ada
Kita orang Indonesia menganggap bahwa keriuhan merupakan bagian dari sono-nya kita dan menerima bahwa kita berisik, ribut, risuh, karena kita mengasosiasikan kebisingan dengan pesta pora, dengan minum-minum, dengan berpesta.
Di pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, misalnya, hampir tiap bulan ada pesta yang menimbulkan kebisingan.
Kalau bukan pesta, musik-musik dengan alat pengeras suara dimainkan tanpa menghargai dan menghormati keheningan tetangga.
Belum lagi teriakan di mana-mana. Pesta tidak ramai kalau tidak kacau, tidak baku pukul, tidak ada yang korban.