Oleh: Melki Deni, S. Fil
Almunus Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero - NTT, sedang belajar Teologi di Universidad Pontificia Comillas, Madrid, Spanyol
POS-KUPANG.COM - Saat itu pukul setengah sembilan pagi di dalam kereta api dari stasiun Chamartín menuju San Sebastian de los Reyes, Madrid, sekolompok mahasiswi dari salah satu kampus berbincang-bincang sekeras-kerasnya.
Mereka tidak saling mendengarkan karena itu sangat ribut. Beberapa orang di sebelahnya menonton video di ponsel tanpa headphone atau headset.
Saya sendiri dengan buku di tangan terdiam menyaksikan beberapa orang dengan begitu tenang membaca buku di dalam kereta api tanpa merepotkan suara-suara dan teriakan-teriakan itu.
Kota memang selalu identik dengan kebisingan, keributan, huru-hara, hiruk-pikuk, dan tergesa-gesa.
Masyarakat sekarang lebih suka berbiara banyak daripada mendengarkan. Kita sedang krisis pendengar yang setia.
Kebajikan hening
Jika orang Latin kuno membedakan silere dari tacere, itu karena istilah sebelumnya menandakan ketenangan, non-gerakan, keheningan tanpa tujuan yang jelas, impersonal.
Tacere, di sisi lain, menunjukkan keheningan “aktif”, kerinduan yang lebih mencari disiplin untuk tidak berbicara, dengan tujuan menyesuaikan, atau dengan kata lain, meniadakan, disonansi yang dihasilkan oleh segala sesuatu yang mengelilingi manusia.
Silere merupakan tanda yang menunjukkan sesuatu yang lebih dari sekadar konsentrasi untuk mencapai tujuan, ketenangan yang diperlukan untuk membaca atau mendengarkan suara orang lain dengan lebih saksama.
Silere adalah kata kerja yang mengenali imobilitas, keheningan yang tak pernah berakhir, pelepasan hasrat, saluran pelepasan.
Oleh karena itu, dalam bahasa spiritualitas, ia dikaitkan dengan sikap mistis, sementara tacere terutama dikaitkan dengan keinginan pertapa.
Mengheningkan diri mempunyai manfaat ganda yang menyangkut kepentingan diri sendiri dan orang lain, sebab dengan tetap diam kita menawarkan diri kita sendiri tanpa bahasa, tanpa campur tangan.
Benediktus dari Nursia, misalnya, yang hidup menyendiri dalam waktu lama di sebuah gua dekat Subiaco, tidak jauh dari Roma, merumuskan hukum-hukum monastik yang terbentuk dalam Regula monachorum yang ditulis kemudian di Monte Cassino, di mana ia menggunakan kata “keheningan” untuk menunjukkan perenungan di siang hari.
Pada malam hari, ia menyarankan para anggota komunitas untuk berdiam diri (Omni tempore silentium).
Setelah mereka berada di ruang doa, memudahkannya masuk ke dalam ruang tertinggi dari silentio.