Opini

Opini: Sastra sebagai Lanskap Yang Menggambarkan Manusia Secara Utuh 

Editor: Dion DB Putra
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Jose Da Conceicao Verdial

Sastra sebagai Cermin Eksistensial

Jean-Paul Sartre, dalam pandangan eksistensialismenya, menyatakan bahwa manusia “dikutuk untuk bebas.” 

Kebebasan ini justru melahirkan kecemasan karena manusia bertanggung jawab sepenuhnya atas pilihannya dalam dunia yang absurd. Sastra merekam pergulatan batin ini secara mendalam. 

Misalnya, dalam novel The Stranger karya Albert Camus, tokoh Meursault tidak hanya menjadi figur fiksi, tetapi juga simbol dari manusia modern yang terlempar ke dalam absurditas hidup tanpa makna pasti.

Sastra, dalam konteks ini, menjadi semacam ekografi eksistensial: ia memetakan wilayah-wilayah keterasingan, pencarian makna, dan perlawanan terhadap kehampaan. 

Novel-novel karya Franz Kafka, seperti The Trial dan The Metamorphosis, menggambarkan manusia yang terperangkap dalam sistem yang absurd, kehilangan orientasi, tetapi terus berusaha mencari “arti” dari keberadaannya.

Sastra sebagai Pemetaan Psikologis

Tidak cukup hanya sebagai cermin eksistensial, sastra juga merupakan alat pemetaan psikologis manusia. 

Sigmund Freud dalam The Interpretation of Dreams (1900) memperkenalkan ide bahwa struktur bawah sadar manusia membentuk perilaku dan kesadaran. 

Sastra kemudian menjadi tempat di mana impuls-id, ego, dan superego bersatu dalam narasi tokoh-tokohnya. 

Misalnya, dalam novel Crime and Punishment karya Fyodor Dostoevsky, tokoh Raskolnikov mengalami gejolak moral dan psikologis yang sangat kompleks sebagai respons terhadap tindakan pembunuhan yang ia lakukan.

Melalui sastra, pembaca dapat merasakan bagaimana konflik internal manusia terjadi: rasa bersalah, keinginan membebaskan diri, dan perdebatan antara nurani dan logika. 

Sastra, dengan demikian, membentuk ruang untuk memahami manusia sebagai entitas psikologis yang tidak sederhana.

Sastra dan Realitas Sosial

Salah satu kekuatan utama sastra adalah kemampuannya dalam menghadirkan kenyataan sosial dalam bentuk narasi. 

George Orwell dalam novel Animal Farm dan 1984 memetakan bagaimana kekuasaan, propaganda, dan dominasi ideologis dapat menindas kemanusiaan. 

Dalam karya-karya ini, sastra bertindak sebagai lanskap untuk menggambarkan manusia yang terjebak dalam struktur kekuasaan yang manipulatif.

Begitu pula dengan Pramoedya Ananta Toer dalam Tetralogi Buru, yang menggambarkan manusia Indonesia dalam kolonialisme, pergerakan, dan kebangkitan identitas nasional. 

Melalui tokoh Minke, kita melihat dinamika antara individu, kelas sosial, dan sistem kolonial yang represif. 

Sastra lokal pun memiliki kekuatan serupa: menggambarkan manusia Indonesia dalam konteks sosial dan sejarahnya yang kompleks, mulai dari kemiskinan, konflik agraria, hingga pencarian jati diri budaya.

Sastra dan Dimensi Antroposentris

Dalam narasi-narasi sastra, manusia sering kali berada di pusat cerita bukan hanya sebagai subjek narasi, tetapi juga sebagai makhluk yang memiliki relasi dengan makhluk lain dan lingkungan sekitarnya. 

Ekokritisisme, sebagai pendekatan baru dalam kajian sastra, mencoba mengangkat persoalan relasi manusia dengan alam. 

Novel The Overstory karya Richard Powers adalah contoh kontemporer bagaimana manusia digambarkan bukan sebagai pusat tunggal, tetapi bagian dari ekosistem besar yang rentan dan saling tergantung.

Sastra memampukan kita melihat bahwa menjadi manusia yang utuh bukanlah menjadi dominan, melainkan menjadi sadar bahwa eksistensinya selalu berada dalam relasi baik dengan sesama manusia maupun dengan alam. 

Manusia bukan entitas homogen. Ia beragam; gender, etnis, agama, orientasi seksual, dan kelas sosial. 

Dalam perkembangan sastra kontemporer, kita menyaksikan munculnya suara-suara minoritas yang merepresentasikan keragaman ini. 

Sastra feminis, dan sastra poskolonial menghadirkan narasi-narasi yang menentang dominasi tunggal dalam pemahaman tentang manusia. 

Seperti Chimamanda Ngozi Adichie, dalam esai terkenalnya The Danger of a Single Story, menekankan bahwa satu perspektif tidak cukup untuk menggambarkan kenyataan manusia. 

Sastra kemudian menjadi arena untuk menghadirkan many stories yang menggambarkan manusia dari berbagai sudut, dengan keunikan dan perjuangannya masing-masing. 

Hal ini, karena sastra sebagai kritik dan harapan dengan menggambarkan kenyataan melalui fungsi utopis dengan maksud ia tidak hanya merefleksikan dunia sebagaimana adanya, tetapi juga membayangkan dunia sebagaimana seharusnya. 

Setiap orang yang menikmati karya sastra tidak hanya diajak menyaksikan ketidakadilan rasial, tetapi juga diajak untuk percaya pada kemungkinan keadilan dan keberanian moral. 

Pada posisi ini, sastra bukan hanya lanskap pasif, tetapi juga aktif sebagai kritik, sebagai teguran, untuk penyulut kesadaran, dan bahkan sebagai harapan. 

Jadi kehadiran sastra membentuk intervensi dengan tujuan mengajak manusia untuk tidak sekedar menjadi korban realitas, tetapi juga menjadi subjek perubahan. 

Di sinilah letak kekuatan sastra: ia membuat yang jauh menjadi dekat, yang asing menjadi akrab. 

Melalui narasi, empati dibangun. Sastra menyatukan fragmen-fragmen manusia dalam mosaik yang utuh. 

Ketika kita menyebut “manusia yang utuh,” kita tidak hanya bicara soal individu yang sadar akan dirinya, tetapi juga individu yang sadar akan keterkaitannya dengan dunia. 

Sastra membantu manusia membangun kesadaran ini. Ia tidak hanya membantu pembaca untuk “mengerti” karakter, tetapi juga untuk “mengalami” dunia batin dan sosial mereka.  

Begitu juga pada konteks pendidikan, sastra sangat relevan untuk membentuk karakter, empati, dan sensitivitas moral. 

Pendidikan yang mengintegrasikan sastra secara serius akan membentuk manusia yang tidak hanya cerdas secara kognitif, tetapi juga bijak secara emosional dan sosial. 

Dengan demikian dapat dikatakan sastra bukan sekadar olahan kata melainkan menghadirkan kenyataan dalam imajinasi. 

Dalam setiap bait puisi, dalam setiap fragmen cerpen, dalam setiap lembar novel, kita menemukan manusia: dengan luka, harapan, kegagalan, dan pencariannya. 

Sastra dianggap lanskap yang hidup tempat di mana manusia digambar dengan utuh, dalam hubungan yang dinamis dengan realitasnya.

Maka dari itu, membaca dan penulis sastra bukan sekadar aktivitas estetika, tetapi juga praktik kemanusiaan yang mendalam. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Berita Terkini