Oleh: Jose Da Conceicao Verdial, M.Pd.
Dosen PBSI Universitas Timor, Kefamenanu, Nusa Tenggara Timur
POS-KUPANG.COM - Dalam sejarah peradaban manusia, sastra hadir bukan sekadar sebagai bentuk hiburan, melainkan juga sebagai refleksi, proyeksi, dan rekonstruksi kompleksitas kemanusiaan.
Karya sastra tidak hanya mencatat sejarah sosial dan emosi kolektif, tetapi juga menjadi wadah penting untuk menggambar manusia secara utuh dengan seluruh lapisan perasaan, hasrat, nilai, dan keterasingannya.
Manusia tidak pernah hidup dalam ruang hampa; ia terus-menerus berada dalam tarik menarik antara eksistensi personal dan dinamika sosial.
Maka dari itu, sastra menjadi lanskap yang merepresentasikan dan mengkonseptualisasikan manusia dalam medan realitas yang senantiasa berubah.
Posisi seperti ini, maka lanskap sastra menjadi medium yang memungkinkan penggambaran manusia tidak sebagai entitas yang monolitik, melainkan sebagai makhluk multidimensional yang rentan, dinamis, dan terus bertumbuh dalam interaksinya dengan dunia.
Melalui novel, cerpen, puisi, atau drama, penulis menciptakan dunia alternatif yang, meski fiktif, justru sering kali lebih jujur dan autentik dibandingkan realitas itu sendiri.
Dunia sastra tidak tunduk pada hukum-hukum objektif seperti dalam sains, tetapi pada intensitas emosi, kejujuran batin, dan kedalaman makna.
Inilah mengapa karya sastra memiliki kapasitas luar biasa untuk menyelami dan menghadirkan "yang manusiawi" dalam segala kompleksitasnya.
Sejak zaman Yunani Kuno, sastra telah memainkan peran penting dalam menelusuri relung-relung eksistensi manusia.
Dalam Oedipus Rex karya Sophocles, misalnya, kita menyaksikan tragedi manusia yang mencoba menghindari takdirnya, hanya untuk kemudian jatuh ke dalam takdir itu sendiri.
Di balik narasi tragis itu, terdapat pertanyaan-pertanyaan filosofis mendalam tentang kebebasan, kehendak, dan keterbatasan.
Demikian pula dengan karya-karya Shakespeare seperti Hamlet dan Macbeth, yang membuka tabir tentang ambisi, moralitas, rasa bersalah, dan pencarian kebenaran.
Dari masa ke masa, karya-karya seperti ini membuktikan bahwa sastra adalah jendela yang paling jernih untuk memahami hakikat manusia.
Dalam konteks modern, sastra tidak kehilangan perannya. Bahkan, dalam masyarakat yang kian terfragmentasi akibat teknologi dan globalisasi, sastra justru menjadi medium kontemplatif yang menawarkan ruang untuk kembali menyelami kemanusiaan kita yang terdalam.
Sastra menghadirkan narasi-narasi alternatif yang melawan arus dominan dari media massa yang sering kali menyederhanakan manusia dalam kategori-kategori dangkal: konsumen, warga negara, pengguna, atau statistik.
Di tengah dunia yang cenderung mempercepat dan mereduksi pengalaman hidup, sastra justru memperlambat dan memperluasnya. Ia memungkinkan kita merasakan waktu, emosi, dan relasi secara utuh.
Kemampuan sastra dalam menggambar manusia yang utuh juga terletak pada cara ia mempertemukan antara subjektivitas dan objektivitas, antara personal dan universal.
Tokoh-tokoh dalam novel misalnya Anna Karenina, Holden Caulfield, atau Saman dalam karya Ayu Utami adalah representasi dari konflik batin manusia yang unik, namun resonansinya melampaui batas individu.
Mereka menjadi cermin bagi pembaca yang berasal dari konteks budaya dan sejarah berbeda, tetapi mengalami gejolak emosi dan dilema moral yang serupa.
Hal ini menunjukkan bahwa sastra tidak hanya mencerminkan kenyataan, tetapi juga menciptakan ruang imajinatif untuk menyatukan manusia melalui pengalaman empatik.
Sastra juga menyediakan tempat bagi suara-suara yang sering kali terpinggirkan oleh narasi dominan.
Ia membuka ruang bagi perempuan, kelompok minoritas, masyarakat adat, atau mereka yang berada di pinggiran sejarah, untuk berbicara dan mengartikulasikan pengalamannya.
Dalam hal ini, sastra tidak hanya menjadi lanskap untuk menggambar manusia, tetapi juga medan perjuangan untuk mengklaim kemanusiaan yang selama ini diabaikan.
Karya-karya seperti Cerita Calon Arang versi Toeti Heraty, Amba karya Laksmi Pamuntjak, atau Burung-Burung Manyar oleh Y.B. Mangunwijaya memperlihatkan betapa luas dan kaya potensi sastra dalam menafsir ulang sejarah dan memperluas definisi tentang manusia.
Tidak hanya dari segi isi, bentuk estetika dalam sastra juga menjadi medium penting untuk menyampaikan kedalaman pengalaman manusia.
Struktur naratif, metafora, simbol, hingga ritme bahasa merupakan bagian dari cara sastra bekerja menyentuh pembaca bukan hanya secara rasional, tetapi juga afektif.
Bahasa dalam sastra bukan sekadar alat komunikasi, melainkan alat penciptaan makna.
Dalam puisi, misalnya, bahasa menjadi ruang resonansi emosi, keheningan, dan intuisi yang tidak bisa ditangkap oleh bahasa denotatif biasa.
Maka tidak heran bila puisi sering kali menjadi media paling purba sekaligus paling dalam dalam menggambarkan pengalaman manusia yang eksistensial. Salah satu daya tarik utama sastra adalah kemampuannya mengolah paradoks.
Manusia, dalam kenyataannya, adalah makhluk yang paradoksal: ia mencintai dan membenci, berharap dan takut, memuja dan menghancurkan. Sastra tidak menghapus paradoks ini, tetapi justru merayakannya.
Dalam sastra, kita menemukan ruang untuk mengalami ambiguitas tanpa harus menyelesaikannya secara definitif. Sebab kehidupan manusia memang tidak pernah tuntas dimaknai secara tunggal.
Dengan kata lain, sastra tidak menawarkan jawaban yang pasti, melainkan pertanyaan-pertanyaan yang lebih tajam dan reflektif.
Dalam era kontemporer yang ditandai oleh algoritma, data besar, dan kecenderungan mereduksi manusia ke dalam angka-angka statistik, peran sastra menjadi semakin krusial.
Di tengah gempuran narasi-narasi teknokratis, sastra hadir untuk mengingatkan kita bahwa manusia bukan sekadar objek kalkulasi atau entitas yang dapat diklasifikasikan.
Manusia adalah makhluk yang memiliki cerita, trauma, harapan, dan masa lalu yang tak bisa sepenuhnya dipahami hanya lewat logika kuantitatif.
Oleh karena itu, memperjuangkan eksistensi sastra dalam ruang publik bukan sekadar soal mempertahankan kesenian, tetapi mempertahankan kemanusiaan itu sendiri.
Dengan segala fungsi dan kemampuannya itu, sastra menjadi bagian penting dari ekologi kebudayaan yang sehat.
Ia membantu masyarakat menyembuhkan luka-luka kolektif, membuka dialog lintas identitas, dan membentuk imajinasi sosial yang inklusif.
Melalui sastra, kita belajar bahwa manusia adalah makhluk yang rentan, tetapi juga memiliki kemampuan luar biasa untuk bertahan, mencipta, dan mencintai.
Maka menggambar manusia secara utuh dalam konteks sastra adalah menggambar keberadaannya dalam totalitas yang terus berproses: dari luka ke harapan, dari kegagalan ke kemungkinan, dari keterasingan ke solidaritas.
Jika kita ingin membangun peradaban yang lebih manusiawi, maka kita harus menempatkan sastra di tengah-tengah ruang kehidupan kita.
Sastra tidak bisa terus-menerus disingkirkan ke pinggiran kurikulum pendidikan atau diabaikan dalam kebijakan kebudayaan.
Justru dalam karya sastra, tersimpan potensi transformatif yang luar biasa untuk membentuk generasi yang lebih empatik, reflektif, dan terbuka terhadap perbedaan.
Melalui pembacaan yang tekun dan penulisan yang jujur, sastra akan terus menjadi lanskap di mana manusia digambar bukan hanya sebagai sosok yang ada, tetapi sebagai sosok yang sedang dan terus menjadi. Hal ini terus digaungkan karena hal-hal sebagai berikut;
Sastra sebagai Cermin Eksistensial
Jean-Paul Sartre, dalam pandangan eksistensialismenya, menyatakan bahwa manusia “dikutuk untuk bebas.”
Kebebasan ini justru melahirkan kecemasan karena manusia bertanggung jawab sepenuhnya atas pilihannya dalam dunia yang absurd. Sastra merekam pergulatan batin ini secara mendalam.
Misalnya, dalam novel The Stranger karya Albert Camus, tokoh Meursault tidak hanya menjadi figur fiksi, tetapi juga simbol dari manusia modern yang terlempar ke dalam absurditas hidup tanpa makna pasti.
Sastra, dalam konteks ini, menjadi semacam ekografi eksistensial: ia memetakan wilayah-wilayah keterasingan, pencarian makna, dan perlawanan terhadap kehampaan.
Novel-novel karya Franz Kafka, seperti The Trial dan The Metamorphosis, menggambarkan manusia yang terperangkap dalam sistem yang absurd, kehilangan orientasi, tetapi terus berusaha mencari “arti” dari keberadaannya.
Sastra sebagai Pemetaan Psikologis
Tidak cukup hanya sebagai cermin eksistensial, sastra juga merupakan alat pemetaan psikologis manusia.
Sigmund Freud dalam The Interpretation of Dreams (1900) memperkenalkan ide bahwa struktur bawah sadar manusia membentuk perilaku dan kesadaran.
Sastra kemudian menjadi tempat di mana impuls-id, ego, dan superego bersatu dalam narasi tokoh-tokohnya.
Misalnya, dalam novel Crime and Punishment karya Fyodor Dostoevsky, tokoh Raskolnikov mengalami gejolak moral dan psikologis yang sangat kompleks sebagai respons terhadap tindakan pembunuhan yang ia lakukan.
Melalui sastra, pembaca dapat merasakan bagaimana konflik internal manusia terjadi: rasa bersalah, keinginan membebaskan diri, dan perdebatan antara nurani dan logika.
Sastra, dengan demikian, membentuk ruang untuk memahami manusia sebagai entitas psikologis yang tidak sederhana.
Sastra dan Realitas Sosial
Salah satu kekuatan utama sastra adalah kemampuannya dalam menghadirkan kenyataan sosial dalam bentuk narasi.
George Orwell dalam novel Animal Farm dan 1984 memetakan bagaimana kekuasaan, propaganda, dan dominasi ideologis dapat menindas kemanusiaan.
Dalam karya-karya ini, sastra bertindak sebagai lanskap untuk menggambarkan manusia yang terjebak dalam struktur kekuasaan yang manipulatif.
Begitu pula dengan Pramoedya Ananta Toer dalam Tetralogi Buru, yang menggambarkan manusia Indonesia dalam kolonialisme, pergerakan, dan kebangkitan identitas nasional.
Melalui tokoh Minke, kita melihat dinamika antara individu, kelas sosial, dan sistem kolonial yang represif.
Sastra lokal pun memiliki kekuatan serupa: menggambarkan manusia Indonesia dalam konteks sosial dan sejarahnya yang kompleks, mulai dari kemiskinan, konflik agraria, hingga pencarian jati diri budaya.
Sastra dan Dimensi Antroposentris
Dalam narasi-narasi sastra, manusia sering kali berada di pusat cerita bukan hanya sebagai subjek narasi, tetapi juga sebagai makhluk yang memiliki relasi dengan makhluk lain dan lingkungan sekitarnya.
Ekokritisisme, sebagai pendekatan baru dalam kajian sastra, mencoba mengangkat persoalan relasi manusia dengan alam.
Novel The Overstory karya Richard Powers adalah contoh kontemporer bagaimana manusia digambarkan bukan sebagai pusat tunggal, tetapi bagian dari ekosistem besar yang rentan dan saling tergantung.
Sastra memampukan kita melihat bahwa menjadi manusia yang utuh bukanlah menjadi dominan, melainkan menjadi sadar bahwa eksistensinya selalu berada dalam relasi baik dengan sesama manusia maupun dengan alam.
Manusia bukan entitas homogen. Ia beragam; gender, etnis, agama, orientasi seksual, dan kelas sosial.
Dalam perkembangan sastra kontemporer, kita menyaksikan munculnya suara-suara minoritas yang merepresentasikan keragaman ini.
Sastra feminis, dan sastra poskolonial menghadirkan narasi-narasi yang menentang dominasi tunggal dalam pemahaman tentang manusia.
Seperti Chimamanda Ngozi Adichie, dalam esai terkenalnya The Danger of a Single Story, menekankan bahwa satu perspektif tidak cukup untuk menggambarkan kenyataan manusia.
Sastra kemudian menjadi arena untuk menghadirkan many stories yang menggambarkan manusia dari berbagai sudut, dengan keunikan dan perjuangannya masing-masing.
Hal ini, karena sastra sebagai kritik dan harapan dengan menggambarkan kenyataan melalui fungsi utopis dengan maksud ia tidak hanya merefleksikan dunia sebagaimana adanya, tetapi juga membayangkan dunia sebagaimana seharusnya.
Setiap orang yang menikmati karya sastra tidak hanya diajak menyaksikan ketidakadilan rasial, tetapi juga diajak untuk percaya pada kemungkinan keadilan dan keberanian moral.
Pada posisi ini, sastra bukan hanya lanskap pasif, tetapi juga aktif sebagai kritik, sebagai teguran, untuk penyulut kesadaran, dan bahkan sebagai harapan.
Jadi kehadiran sastra membentuk intervensi dengan tujuan mengajak manusia untuk tidak sekedar menjadi korban realitas, tetapi juga menjadi subjek perubahan.
Di sinilah letak kekuatan sastra: ia membuat yang jauh menjadi dekat, yang asing menjadi akrab.
Melalui narasi, empati dibangun. Sastra menyatukan fragmen-fragmen manusia dalam mosaik yang utuh.
Ketika kita menyebut “manusia yang utuh,” kita tidak hanya bicara soal individu yang sadar akan dirinya, tetapi juga individu yang sadar akan keterkaitannya dengan dunia.
Sastra membantu manusia membangun kesadaran ini. Ia tidak hanya membantu pembaca untuk “mengerti” karakter, tetapi juga untuk “mengalami” dunia batin dan sosial mereka.
Begitu juga pada konteks pendidikan, sastra sangat relevan untuk membentuk karakter, empati, dan sensitivitas moral.
Pendidikan yang mengintegrasikan sastra secara serius akan membentuk manusia yang tidak hanya cerdas secara kognitif, tetapi juga bijak secara emosional dan sosial.
Dengan demikian dapat dikatakan sastra bukan sekadar olahan kata melainkan menghadirkan kenyataan dalam imajinasi.
Dalam setiap bait puisi, dalam setiap fragmen cerpen, dalam setiap lembar novel, kita menemukan manusia: dengan luka, harapan, kegagalan, dan pencariannya.
Sastra dianggap lanskap yang hidup tempat di mana manusia digambar dengan utuh, dalam hubungan yang dinamis dengan realitasnya.
Maka dari itu, membaca dan penulis sastra bukan sekadar aktivitas estetika, tetapi juga praktik kemanusiaan yang mendalam. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News