Itulah pria Lembata, seperti Lamafa yang ketika mulai melaut ia mengambil tali ‘leo’ dalam diam.
Ia membiarkan orang lain berbicara (atau mencelanya) tetapi yang pasti ia diam karena itu adalah emas.
Pria Lembata yang pendiam juga tidak cerewet dan tidak suka mengeluh. Ia terbiasa berjalan kaki dari kampung ke kampung tanpa mengeluh akan beratnya perjuangan.
Untuk keluar dari kabupatennya ia harus melewat laut yang ganas. Ia tidak mengeluh dengan ombak karena tahu bahwa gulungan ombak justru menjadi bak ayunan naik turun yang memberi ritme pada kehidupan.
Apakah dengan demikian pria Lembata tidak mengeluh? Ya ia bisa mengeluh tetapi ia ungkapkan dalam hal-hal yang dianggapnya penting. Saat bermain bola ia tidak mengeluh akan lawan yang lebih hebat.
Ia tunjukkan bahwa kemenangan diperoleh oleh kekompakan dan konsisteni tim dan bukan pada lawan.
Inilah pria Lembata. Seperti Lamafa ia bukan menghindari angin dan ombak. Ia justru menjemput ombak agar perahu layarnya bisa bergerak cepat.
Ia tidak mendoakan agar tidak ada tangan tetapi malah mengundang tantangan dan angin dalam doa nan ikhlas: O ina fae bele e, nei kame angi usi (oh ibunda lautan, hembuskanlah kami sedikit angin).
Tenang, Tidak Emosional
Lelaki Lembata juga tidak lepas kontrol. Ia bukan jenis pria yang mudah menunjukkan emosi karena hal itu dianggap memalukan. Ia benar-benar mengontrol emosinya.
Kalaupun ada emosi yang terkuaras oleh pergulatan mati-hidup, sang Lamafa tidak merasa kesendirian.
Ia justru meyerahkan persoalan kepada tim secara khusus lama uri (juru mudi) yang ada di belakangnya.
Ia mengendalikan arah peledang dan karena itu ia perlu percayakan keselamatannya pada rekan matros dan terutama lama uri.
Dalam tim sepak bola, keyakinan pada pemain belakang merupakan salah satu cirinya.
Persebata terkenal dengan pertahanan yang tangguh dengan kematangan dan ketenangan hal mana hanya bisa ditemukan dalam tim besar sekelas Barcelona, Real Madrid, Bayern Munich, Inter Milan, dan PSG.