Lewotobi Erupsi

DPRD NTT Soal Relokasi Pengungsi Erupsi Gunung Lewotobi Flores Timur

Penulis: Irfan Hoi
Editor: Oby Lewanmeru
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Personel Polda NTT membersihkan material vulkanik yang menutup ruas jalan Trans Flores Maumere -Larantuka pasca tertutup meterial vulkanik erupsi gunung Lewotobi Laki-laki, Kabupaten Flores Timur, NTT, Minggu 17 November 2024.

Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Irfan Hoi

POS-KUPANG.COM, KUPANG  - Anggota DPRD NTT menanggapi rencana relokasi bagi pengungsi erupsi Ile Lewotobi Laki-laki di Kabupaten Flores Timur. 

Rencana relokasi itu, harusnya melihat berbagai aspek. Tidak saja masalah, tanah sebagai tempat bangunan tapi juga mengenai psikologi para pengungsi. 

"Tentang tanah yang mau disiapkan untuk para pengungsi itu, kita ini menganut sistem hak ulayat. Jadi tidak serta-merta itu menjadi gampang. Makanya sekarang masih tarik ulur kan," kata Ana Kolin, anggota DPRD NTT, Senin 18 November 2024.

Politisi PKB itu sepakat dengan arahan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka mengenai dialog sebelum relokasi dilakukan. Hal itu agar tidak menimbulkan persoalan dikemudian hari. 

Menurutnya, pendekatan yang perlu dilakukan Pemerintah Pusat dan Daerah harus mengedepankan unsur budaya, sosial dan psikologi. Semua itu harus secara menyeluruh dibicarakan agar mencegah masalah baru yang timbul pasca relokasi. 

Kepemilikan lahan di NTT, khususnya di Flores Timur, paling banyak di miliki oleh beberapa kelompok masyarakat. Masalah ini menjadi catatan penting. 

"Advokasi secara budaya, sosial, psikologi harus gencar dilakukan. Harus dilakukan secara terus menerus. Tidak bisa cepat. Baik kalau pemilik tanah memahami," ujarnya. 

Ana Kolin mengingatkan, acara advokasi mengenai masalah relokasi itu tidak hanya dilakukan saat-saat seperti ini. Tentu terus dilakukan. Edukasi terhadap pemilik tanah juga harus terus dilakukan. 

Tujuan dari itu, kata dia, agar menjalin satu pemahaman bersama mengenai relokasi itu. Ana Kolin menyarankan pelibatan tokoh agama dan LSM untuk membantu advokasi itu. 

"Yang mungkin bisa berpengaruh ke pemegang hak ulayat itu. Tidak saja pemerintah sendiri, sehingga persoalan tanah hak ulayat itu bisa digunakan," ujarnya. 

Sisi lain, Ana Kolin juga merespons mengenai keengganan masyarakat yang pindah ke tempat relokasi.

Ia memahami kondisi psikologi masyarakat yang belum bersedia dipindahkan dari lingkungan awalnya. 

Secara rinci, masyarakat yang khawatir harus memulai kehidupan sosial budaya baru.

Kalaupun memungkinkan, masyarakat dari satu desa yang sama bisa menempati satu kawasan yang sama di lahan relokasi. 

Halaman
12

Berita Terkini