Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Irfan Hoi
POS-KUPANG.COM, KUPANG - Calon Gubernur NTT, Yohanis Fransiskus Lema atau Ansy Lema menyoroti perubahan status Mutis di Timor Tengah Selatan, NTT yang dari sebelumnya Cagar Alam menjadi Taman Nasional.
Ansy Lema kecewa dan mempertanyakan komitmen Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI. Dalam rapat bersama Komisi IV DPR RI, sudah menyepakati tidak ada perubahan status Mutis.
"Saya menegaskan, kesepakatan ini belum pernah direvisi atau dievaluasi," kata Ansy Lema dalam video yang diperoleh, Kamis 19 September 2024.
Politsi PDI Perjuangan itu bilang, keputusan itu justru dibuat pada ujung kepemimpinan Menteri LHK, Siti Nurbaya. Bahkan tidak ada konsultasi bersama DPR RI hingga para masyarakat adat di kawasan Mutis.
Baca juga: Pilkada Timor Tengah Selatan, 5 Paslon Resmi Mendaftarkan Diri
Dia menegaskan, kawasan Mutis merupakan simbol peradaban masyarakat Timor. Wilayah itu menjadi bagian yang memberi kehidupan bagi masyarakat setempat, disamping sebagai identitas.
"Kita tahu bahwa Cagar Alam Mutis adalah jantung peradaban orang Timor. Mama yang menyusui kehidupan bagi masyarakat di Pulau Timor. Identitas kultural, Atoni Pah Meto," kata Ansy Lema.
Dia beralasan, sorotan yang disampaikan karena belum melihat kajian akademik dan ilmiah yang menjadi dasar perubahan status itu. Dia khawatir, wilayah itu akan beralih fungsi dengan perubahan status yang dilakukan.
"Dari wilayah konservasi menjadi wilayah pemanfaatan. Saya tidak ingin penurunan status ini menjadi ancaman bagi keseimbangan ekologis dan melukai identitas kultural serta peradaban Atoni Pah Meto," ujar dia.
Ansy Lema mengaku akan bersama masyarakat setempat untuk mengawal proses itu. Eks aktivis 98 itu juga mendorong anggota Komisi IV DPR RI untuk mempertanyakan itu secara serius kepada Kementrian LHK RI.
Terpisah, dalam keterangan tertulisnya, Kepala BKSDA NTT, Arief Mahmud merespons sorotan dari Ansy Lema. Menurut Arief, dalam terminologi Perubahan Fungsi Kawasan Hutan termasuk fungsi Cagar Alam menjadi Taman Nasional, tidak dikenal istilah penurunan fungsi.
Hal yang dilakukan dengan perubahan fungsi tersebut justeru dilakukan untuk mengakomodasi kebutuhan dan kegiatan eksisting yang dilakukan oleh masyarakat setempat.
"Dengan fungsi sebagai Cagar Alam maka aktifitas pemanfaatan yang dapat dilakukan hanya untuk kepentingan Penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan, dan kegiatan lainnya yang menunjang budidaya," katanya dalam keterangan tertulisnya.
Sedangkan aktifitas eksisting yang telah dilakukan oleh masyarakat setempat antara lain mengambil madu hutan, mengambil kayu bakar, mengambil lumut dan jamur, pemanfaatan air serta wisata alam.
Dengan fungsinya sebagai Cagar Alam maka semua aktifitas tersebut tidak dimungkinkan. Upaya perubahan fungsi menjadi taman nasional akan mengakomodasi semua kepentingan tersebut.
Setelah dilakukan pengaturan zonasi pengelolaan, akan dilakukan alokasi kawasan untuk kepentingan perlindungan sistem penyangga kehidupan serta pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya pada zona inti dan zona rimba.
Sisi lain aktifitas masyarakat selama ini akan diakomodasi dan dimungkinkan secara legal melalui alokasi zona tradisional, zona religi dan zona pemanfaatan.
"Tidak semua bagian kawasan akan dijadikan sebagai zona pemanfaatan untuk kepentingan wisata. Dalam proses pengaturan zonasi akan dilakukan upaya konsultatif dengan semua unsur masyarakat termasuk masyarakat adat dan pemerintah melalui konsultasi publik," ujarnya.
Menurut Arief, upaya konsultasi telah dilakukan saat dilakukan kegiatan evaluasi kesesuaian fungsi Cagar Alam maupun secara terbatas pada saat penelitian oleh tim Terpadu.
"Namun tentu tidak dapat menafikan sebagian masyarakat yang masih belum menerima inisiatif perubahan fungsi. Pemerintah menghormati pendapat setiap warga masyarakat," kata dia.
Dia menjelaskan, perubahan fungsi hutan lindung Mutis Timau dan Cagar Alam Mutis Timau dilakukan dengan menempuh prosedur sesuai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Perencanaan Kehutanan, Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan, serta Penggunaan Kawasan Hutan khususnya pasal 327 sampai dengan pasal 341.
Pada aturan itu, proses perubahan fungsi kawasan hutan berdasarkan usulan perubahan fungsi lawasan jutan secara parsial untuk kawasan hutan lindung dan kawasan jutan produksi diajukan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan oleh Gubernur, sedangkan perubahan fungsi Kawasan Hutan Konservasi diajukan oleh pengelola dalam hal ini Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem.
Dalam hal ini usulan perubahan fungsi masing-masing kawasan hutan tersebut telah diajukan oleh pihak yang berwenang yaitu Surat Plt. Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Nomor S.1189/KSDAE/PKK/KSA.1/10/2022 tanggal 1 Oktober 2022 diusulkan Perubahan Fungsi Cagar Alam Mutis Timau Provinsi Nusa Tenggara Timur;
Kemudian Surat Gubernur Nusa Tenggara Timur Nomor BU.660/04/DLHK/I/2023 tanggal 13 Januari 2023 Perihal Usulan Perubahan Fungi Kawasan Hutan Lindung Mutis Timau Menjadi Taman Nasional. Khusus untuk usulan perubahan fungsi Cagar Alam menjadi Taman Nasional disyaratkan untuk dilengkapi dengan dokumen laporan evaluasi kesesuaian fungsi dari pengelola Kawasan Hutan Konservasi.
Evaluasi kesesuaian fungsi Cagar Alam Mutis Timau telah dilakukan pada tahun 2018 dengan rekomendasi diusulkan perubahan fungsinya menjadi Taman Nasional. Dalam proses Evaluasi Kesesuaian Fungsi, telah dilakukan pula tahapan konsultasi publik di Kabupaten Timor Tengah Utara dan Timor Tengah Selatan.
Permohonan tersebut selanjutnya ditelaah oleh Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) sesuai arahan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Menurut Arief, Taman Nasional Mutis Timau merupakan gabungan dari kawasan hutan yang sebelumnya merupakan kawasan lindung Mutis Timau terletak di Kabupaten Kupang, Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Timor Tengah Utara seluas 66.473,83 hektar.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2024, Hutan Konservasi meliputi Kawasan Suaka Alam (Cagar Alam dan Suaka Margasatwa) serta Kawasan Pelestarian Alam (Taman Nasional, Taman Wisata Alam dan Taman Hutan Raya).
"Jadi Taman Nasional dengan pola pengelolaannya yang menerapkan sistem zonasi juga tetap merupakan Hutan Konservasi," katanya.
Pada saat penataan zonasi secara partisiptif nanti, kata dia, kawasan yang sebelumnya merupakan Cagar Alam ini dapat menjadi zona inti Taman Nasional.
Namun, perlu pertimbangan ketentuan larangan serta sanksi pada zona inti Taman Taman Nasional dan Cagar Alam yang sama-sama membatasi aktifitas di luar kepentingan ilmu pengetahuan, pengembangan dan pendidikan.
Ancaman hukuman atas pelanggaran/ tindakan pidana di dalam kawasan Taman Nasional berdasarkan Undang-undang 32 Tahun 2024 semakin diperberat baik atas pelaku pelanggaran berupa perorangan maupun korporasi.
Hal ini dilakukan untuk melakukan upaya perlindungan terhadap kawasan hutan konservasi termasuk di dalamnya Cagar Alam dan Taman Nasional.
"Semua ini tidak lepas dari dukungan DPR-RI yang telah memproses penetapan Revisi Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 melalui Undang-undang Nomor 32 Tahun 2024," ujar dia.
Sisi lain, status Kawasan Taman Nasional ini akan menjamin pengelolaan yang lebih efektif mengingat dimungkinkannya pembentukan unit organisasi pengelola tersendiri berupa Balai Taman Nasional, serta perhatian dunia yang lebih besar memastikan dukungan pengelolaan yang lebih kuat. (fan)
Ikuti Berita POS-KUPANG.COM Lainnya di GOOGLE NEWS